STPN RI

STPN RI

Sabtu, 02 Januari 2010

Kata Pengantar

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Hidayahnya sehingga terselesaikan Laporan Praktek Kerja Lapang tepat pada waktunya.
Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) dan pembuatan laporan ini merupakan salah satu syarat akademik bagi mahasiswa program DIV Pertanahan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Pelaksanaan PKL ini bermaksud menyiapkan mahasiswa menjadi pegawai pertanahan yang profesional di bidang pengukuran di masa mendatang. Pengukuran Titik Dasar Teknik (TDT) yang menjadi fokus pembelajaran merupakan pilar dasar pengukuran dan pemetaan di Badan Pertanahan Nasional RI. Sedangkan pemetaan sendiri menjadi syarat mutlak tertib administrasi pertanahan untuk menjamin tertib hukum pertanahan dan mengupayakan tertib penggunaan tanah demi tercapainya catur tertib pertanahan dan empat prinsip pertanahan.
Selain berguna bagi diri mahasiswa PKL ini sebagai bagian dari tri dharma pengabdian STPN kepada Lab Desa. Hasil Praktek Kerja Lapang dapat digunakan PKL Pengukuran bidang dan Kantor Pertanahan dalam pelayanan pertanahan.
Adapun laporan PKL ini bermanfaat bagi mahasiswa peserta PKL dalam menginventaris berbagai permasalahan dalam pengukuran TDT dan alternatif penyelesaian dan pencegahannya. Masalah- masalah ataupun kesulitan yang ada harapannya tidak dialami peserta PKL berikutnya. Lebih dari itu laporan ini dapat memberikan gambaran bagi instruktur untuk menilai kinerja dan kemampuan mahasiswa. Laporan ini juga dapat menjadi bagian dari evaluasi panitia penyelenggara demi perbaikan PKL mendatang.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing- masing unsur, penyusun mengucapkan permohonan maaf dan terima kasih kepada:
  1. Prof. ,Dr. Endriatmo Soetarto, MA.
  2. Tanjung Nugroho, ST., M.Si.
  3. Tullus Subroto,S.Si., M.Si.
  4. Bambang Suyudi, ST., M.T.
  5. Ir. Antonius Sriyono
  6. Ir. Paimin alias Suryanto
  7. Drs. Slamet Wiyono,M.Pd.
  8. Instruktur, Pendamping dan Panitia Penyelenggara PKL 2
  9. Bapak Riwayat ( base camp)
  10. Masyarakat dan Pemerintah Desa Hargobinangun.

Harapan penyusun laporan ini mendapat perhatian berbagai pihak. Saran dan kritik untuk perbaikan laporan ini sungguh dinantikan hingga laporan ini layak untuk disimpan di perpustakaan STPN.
Yogyakarta,         Desember 2009
Penyusun



                                                                                                 Agus DhanangPurnomo
BAB I PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang  

Praktek Kerja Lapang (PKL) II ini diselenggarakan sebagai upaya Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dalam mendidik mahasiswa semester III untuk memiliki kompetensi dalam pemasangan TDT dan pembuatan Peta Titik Dasar Teknik yang dilengkapi dengan informasi ketinggian (desa atau bagian desa). Pembuatan yang dimaksud disini meliputi tahapan perencanaan, pengukuran dan pemetaan, serta administrasinya. Berbeda dengan praktikum di kampus yang parsial dari mata kuliah Dasar-Dasar Pengukuran dan Kerangka Dasar Pemetaan, melalui PKL ini mahasiswa dibawa pada pemahaman sistematis dan komprehensif terhadap pembuatan peta pada cakupan desa atau bagian dari desa. Sebagai pegawai Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI), diharapkan pendidikan yang diselenggarakan STPN aplikatif. Oleh sebab itu, dalam PKL ini tidak lepas aplikasinya terutama berdasar pada (1). Petunjuk Teknis PMNA/KBPN No. 3/ 1997, (2). Standarisasi Pendaftaran Tanah Secara Sistematik dan, (3). Buku Pegangan Petugas Ukur.
Untuk memiliki kompetensi dalam pembuatan Peta Dasar Teknik, para mahasiswa baik sebagai individu-individu maupun kelompok-kelompok, dilibatkan pada field problem mulai dari tahap perencanaan, pendistribusian tugu TDT sampai pada pengeplotan hasil-hasil ukurannya pada lembar Peta Dasar Teknik sesuai format Petunjuk Teknis PMNA/KBPN No.3/1997. Aktivitas perencanaan diharapkan memberi pemahaman lapangan akan pentingnya peta-peta yang tersedia di desa ataupun sumber-sumber lainnya. Kemampuan pemahaman tentang pengukuran poligon multi-method dicoba untuk dapat diaplikasikan oleh para mahasiswa pada berbagai kasus lapangan. Fokusnya, mahasiswa mampu memilih metode yang paling efektif dan efisien dengan mempertimbangkan ketersediaan alat ukur total station, teodolit dan meteran.
Pada kegiatan studio (base-camp), para mahasiswa diharapkan terampil dalam pekerjaan penghitungan poligon metode Bowditch dengan alat hitung scientific kalkulator atau jenis-jenis spread sheet. Dengan demikian, output hitungan tidak hanya dalam bentuk formulir catatan manual tetapi juga berbentuk digital yang siap untuk di-loading melalui AutoCAD atau software pemetaan lainnya. Aturan-aturan mengenai pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah dalam Petunjuk Teknis PMNA/KBPN No.3/1997 diharapkan dapat dikuasai oleh mahasiswa, termasuk di dalamnya monumentasi, buku tugu, metode dan alat standar pengukuran yang diperkenankan, toleransi pengukuran, pembagian lembar peta, format lembar peta dan sebagainya.
Selain itu, agar mahasiswa menjadi petugas ukur yang profesional, maka aspek afektifnya haruslah dijadikan penekanan dan perhatian para instruktur, selain daripada aspek kognitifnya. Dalam hal ini, aspek afektif yang menonjol mencakup kedisiplinan, koordinasi, ketelitian dan kerapian. Kedisiplinan yang dimaksud adalah ketepatan target kerja yang rasional dengan pelaksanaannya. Kerjasama yang dimaksud adalah kemampuan mengatur dinamika kerja dalam menghadapi perubahan-perubahan sebagai bagian dari sistem. Ketelitian dan kerapian meliputi hasil-hasil penghitungan, formulir-formulir, peta-peta, perlakuannya terhadap alat-alat pengukuran dan kelengkapan pribadinya.

B.     Maksud dan Tujuan
1.        Maksud diselenggarakan PKL
a.        Sebagai salah satu syarat akademik bagi mahasiswa program DIV Pertanahan.
b.       Menyiapkan mahasiswa menjadi pegawai pertanahan yang profesional di bidang pengukuran di masa mendatang.
c.        Sebagai bagian dari dharma pengabdian STPN kepada Laboratorium Desa.

2.        Tujuan diselenggarakan PKL
a.        Mahasiswa memiliki pemahaman yang lebih komprehensif tentang pengukuran dan pemetaan TDT dan berbagai dokumen pelengkapnya.
b.       Terpasangnya TDT dan kelengkapan dokumen lainnya yang bermanfaat oleh masyarakat setempat.

C.     Jenis dan Volume Pekerjaan
1.      Perencanaan tugu TDT orde 4.
2.      Pemasanngan TDT sejumlah 80 tugu.
3.      Pengukuran dan penghitungan koordinat TDT (x,y,z).
4.      Pembuatan buku tugu.
5.      Pengukuran dan penghitungan koordinat detil situasi (termasuk titik tinggi).
6.      Pembuatan Peta Dasar Teknik disertai garis kontur .

D.    Peserta PKL
Mahasiswa semester III Program Diploma IV Pertanahan sejumlah 80 orang terdiri dari 16 kelompok dan instruktur sejumlah 20 orang. (daftar terlampir)

E.     Lokasi
Lokasi yang dijadikan tempat PKL adalah Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga dusun yaitu dusun Jetisan, dusun Sawungsari dan dusun Purworejo. Alasan memilih lokasi ini  karena desa ini merupakan salah satu laboratorium desa binaan STPN. (peta desa terlampir)

F.      Waktu Pelaksanaan
PKL ini dilaksanakan selama 10 hari, mulai tanggal 23 November 2009 sampai dengan tanggal 02 Desember 2009. (jadwal terlampir)

G.    Kompetensi dan Indikator
Mahasiswa mampu:
1.     Merencanakan distribusi tugu TDT pada tingkat desa atau bagian dari desa;
2.     Mengukur TDT menggunakan metoda Traverse (poligon) dengan berbagai variannya;
3.     Menghitung koordinat TDT Nasional (posisi horizontal) dengan metode Bowditch;
4.     Mengukur dan menghitung ketinggian TDT dengan menggunakan metode waterpassing;
5.     Mengadministrasikan TDT dalam bentuk buku tugu;
6.     Membuat format lembar Peta Dasar Teknik sesuai format PMNA 3/ 1997;
7.     Mengeplot koordinat TDT ke lembar peta secara manual maupun digital;
8.     Mengukur dan menghitung titik-titik detil situasi area yang dipasang TDT dengan metode Tachimetry;
9.     Menarik garis kontur di area pemasangan TDT (desa ataupun bagian desa ) dengan metode interpolasi secara grafis;
10. Menanggapi masalah lapangan secara cepat dengan menunjukkan adanya kerjasama dan dinamika kerja yang baik;
11. Menunjukkan kedisiplinan kerja sesuai target dan waktu yang ditentukan;
12. Menunjukkan cara kerja yang teliti, rapi, taktis dan benar;
13. Menunjukkan kepedulian dalam memperlakukan data-data, alat-alat ukur dan gambar;
14. Menghimpun data-data, dokumen-dokumen dan hasil-hasil PKL dalam laporan secara sistematis.






BAB II DASAR TEORI


A.     Peta Dasar Teknik
1.     Titik Dasar Teknik
Titik Dasar Teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas (Pasal 1 butir 13 Peraturan Pemerintah No.24/1997).

Pemasangan  titik dasar teknik dilaksanakan berdasarkan kerapatan dan dibedakan atas; orde 0,1,2,3,4 serta titik dasar teknik perapatan. Pemasangan titik dasar teknik orde 0 dan 1 dilaksanakan oleh Bakosurtanal sedangkan orde 2,3,4 dan titik dasar teknik perapatan dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional.  Berdasarkan pemasangannya, titik dasar teknik dibedakan atas 2 (dua) bagian, yaitu   sebagai perapatan dan sebagai pengikatan.
Kontruksi dari Titik Dasar Teknik Orde 3 dan 4, seperti sebagai berikut:


Gambar 1.  Kontruksi Titik Dasar Teknik Orde 3.



Gambar 2. Kontruksi Titik Dasar Teknik Orde 4 (untuk Daerah Terbuka)




Gambar 3. Kontruksi Titik Dasar Teknik Orde 4 (untuk Daerah Padat)




Gambar 4. Kontruksi Titik Dasar Teknik Orde 4 (untuk Daerah Padat)











Gambar 5.  Kontruksi Titik Dasar Teknik Orde 4 (dengan menggunakan Tugu Instansi lain)

Pemasangan titik dasar teknik yang berfungsi sebagai pengikatan berarti bahwa setiap bidang tanah dalam pendaftaran tanah sistematik ataupun sporadik harus diikatkan kepada titik dasar teknik tersebut, sedangkan yang berfungsi sebagai perapatan berarti bahwa pemasangan titik dasar teknik tersebut adalah merapatkan titik dasar teknik yang telah ada dan tersebar di suatu wilayah.
Mengingat fungsi-fungsi tersebut di atas, tahapan kegiatan pemasangan titik dasar teknik adalah sebagai berikut :
a.             Inventarisasi
b.            Perencanaan
c.             Survei Pendahuluan
d.            Monumentasi

2.     Perencanaan Titik Dasar Teknik

a.      Inventarisasi

Kegiatan ini dilakukan dengan mengumpulkan peta dasar teknik, peta topografi / peta rupa bumi atau peta lain yang telah ada dalam wilayah yang akan dipasang titik dasar teknik yang akan dirapatkan.
Data yang  dikumpulkan dari peta dasar teknik yang telah ada, adalah :
1)      Jumlah dan distribusi titik dasar teknik orde 0,1,2 yang telah dipasang dalam satu propinsi bila yang akan dipasang adalah titik dasar teknik orde 2 yang baru (dalam hal perapatan titik dasar teknik).
2)    Jumlah dan distribusi titik dasar teknik yang telah disebutkan pada butir a dan orde 3 yang telah dipasang dalam satu kabupaten / kotamadya bila yang akan dipasang adalah titik dasar teknik orde 3 yang baru (dalam hal perapatan titik dasar teknik).
3)   Jumlah dan distribusi titik dasar teknik yang telah disebutkan pada butir b dan orde 4 yang telah dipasang dalam satu desa / kelurahan bila yang akan dipasang adalah titik dasar teknik orde 4 yang baru (dalam hal perapatan titik dasar teknik).
4)   Jumlah dan distribusi titik dasar teknik orde 0,1,2,3,4 yang berada dalam jarak kurang dari 2 km dari lokasi bidang tanah yang akan diukur (dalam hal pengikatan bidang tanah).

Dalam hal perapatan titik dasar teknik, hasil inventarisasi di atas dituangkan pada DI 106 (lampiran 39) untuk setiap Daerah Tingkat II.

Data yang dikumpulkan dari peta topografi atau peta lain adalah :

1)    Pengumpulan informasi kondisi geografis, sarana / prasarana wilayah yang akan dipasang titik dasar teknik (dalam hal perapatan titik dasar teknik).
2)    Penetapan batas wilayah yang akan dipasang titik dasar teknik (dalam hal perapatan titik dasar teknik).
3)    Pengumpulan informasi tentang ketersediaan lembar peta dasar pendaftaran, peta pendaftaran pada lokasi bidang tanah yang akan diukur (dalam hal pengikatan bidang tanah).

b.      Perencanaan 
Dalam hal pemasangan titik dasar teknik dilakukan untuk perapatan, perencanaan penempatan lokasi titik dasar teknik dilakukan dengan sistem grid, dengan panjang dan lebar grid disesuaikan dengan kerapatan seperti yang dimaksud dalam pasal 2. Kerapatan dimaksud adalah kerapatan maksimum yang diperkenankan dan perencanaan penempatannya diusahakan sedapat mungkin dekat dengan lokasi yang dapat dijangkau (misalnya : pinggir jalan, pemukiman) sehingga memudahkan mobilisasi dan pengukuran yang akan dilakukan.
Rencana pemasangan titik dasar teknik pada peta perencanaan tersedia juga dicantumkan nomor titik dasar teknik yang akan dipasang. Penomoran titik dasar teknik dilakukan dengan berpedoman pada pasal 6 dan lampiran 2. 
Contoh :
09002   – titik dasar teknik orde 2  terletak  di  Propinsi DKI Jakarta dengan nomor urut 2.     
0901002 – titik dasar teknik orde 3 terletak di Propinsi DKI Jakarta , Kodya Jakarta Pusat dengan nomor urut 2.
2         – titik dasar teknik orde 4 pada suatu wilayah desa / kelurahan dengan nomor urut 2 dengan sistem koordinat nasional.
3               – titik dasar teknik orde 4 pada suatu wilayah desa / kelurahan dengan nomor urut 3 dengan sistem koordinat lokal.
- Titik dasar teknik perapatan bersifat sementara dan berfungsi sebagai titik bantu selama pengukuran bidang tanah berlangsung. Untuk memudahkan penandaan titik dasar teknik perapatan pada formulir data pengukuran dan perhitungan, petugas pengukuran diberikan kebebasan untuk memberikan nomor dengan catatan harus unik / tunggal pada setiap titik dasar teknik perapatan selama dilakukannya pengukuran bidang tanah.
Kode administrasi propinsi dan kabupaten / kotamadya  sesuai dengan lampiran 6  adalah nama propinsi dan kabupaten / kodya yang tercatat pada saat pearaturan ini ditetapkan. Untuk wilayah-wilayah administrasi baru yang muncul setelah ditetapkannya peraturan ini, kode administrasi  dibuat dengan melanjutkan kode administrasi yang tercantum pada peraturan tersebut, berdasarkan urutan waktu ditetapkannya daerah administrasi yang bersangkutan, misalnya ; untuk Kodya Bekasi yang telah ditetapkan setelah diterbitkannya peraturan ini akan mendapat kode 26 untuk Daerah Tingkat II. Untuk keperluan koordinasi pemberian kode Daerah Tingkat I, Direktorat Pengukuran dan Pemetaan akan menetapkan kode Daerah Tingkat I dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di tingkat Propinsi akan menetapkan kode Daerah Tingkat II bila terjadi penambahan daerah-daerah administrasi baru.


















Penomoran titik dasar teknik yang akan dipasang dilakukan dengan memperhatikan nomor urut titik dasar teknik yang terakhir sesuai dengan ordenya pada wilayah propinsi / kabupaten / kotamadya yang bersangkutan (berdasarkan hasil inventarisasi jumlah titik dasar teknik yang telah terpasang). Contoh: nomor urut titik dasar teknik orde 3 di Kodya Jakarta Pusat yang terakhir adalah 30, maka nomor urut titik dasar teknik yang baru akan dimulai pada nomor 31 dan seterusnya.
Dalam hal pemasangan titik dasar teknik dilakukan untuk pengikatan bidang tanah dan bidang tanah tersebut belum mempunyai lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran, pada lokasi yang akan dipasang titik dasar teknik diberi tanda di atas peta perencanaan yang telah dipersiapkan dengan kriteria sebagai berikut :
1)    Bila bidang tanah tersebut termasuk daerah pertanian, pemohon pengukuran harus menyiapkan minimal 2 (dua)  buah titik dasar teknik orde 4 dengan jarak pemasangan maksimum 1,5 km (sesuai dengan format lembar peta pendaftaran skala 1:2.500 yang akan dibuat).
2)    Bila bidang tanah tersebut termasuk daerah pemukiman, pemohon pengukuran harus menyiapkan minimal 2 (dua) buah titik dasar teknik orde 4 dengan jarak pemasangan maksimum 500 m (sesuai dengan format lembar peta pendaftaran skala 1:1.000 yang akan dibuat).
3)    Bila bidang tanah tersebut termasuk perkebunan besar, pemohon pengukuran harus menyiapkan minimal 2 (dua) buah titik dasar teknik orde 4 dengan jarak pemasangan maksimum 6 km (sesuai dengan format lembar peta pendaftaran skala 1:10.000 yang akan dibuat).
4)    Bila bidang tanah yang diukur terletak dengan jarak lebih dari 2 (dua) km terhadap 2 (dua) buah titik dasar teknik nasional atau berjarak maksimum 2 (dua) km terhadap 1 (satu) titik dasar teknik nasional, pemetaan titik dasar teknik yang akan dipakai sebagai pengikatan harus dilakukan di atas peta perencanaan.

c.       Survei Pendahuluan
Survei Pendahuluan adalah tahapan kegiatan yang dilakukan untuk memastikan lokasi pemasangan titik dasar teknik sesuai dengan perencanaan yang telah dilakukan dengan melihat kondisi nyata di lapangan. Pada tahap ini setiap titik yang akan dipasang di lapangan dan titik yang akan dipakai sebagai titik ikatan harus ditinjau kondisi fisiknya di lapangan. Bila lokasi yang akan dipasang termasuk di dalam daerah batas administrasi propinsi/ kabupaten/ kotamadya/ kecamatan/ desa/ kelurahan, bila memungkinkan perencanaan pemasangan titik dasar teknik dilakukan pada batas administrasi tersebut dengan memperhatikan peta administrasi wilayah tersebut. Apabila titik dasar teknik yang akan dipasang adalah titik dasar teknik orde 4, tugu-tugu instansi lain yang berada di sekitar lokasi harus diperiksa  kondisi fisiknya. Hal ini dilakukan sebagai dasar untuk menentukan apakah tugu instansi lain tersebut dapat dijadikan sebagai titik dasar teknik orde 4 atau tidak.
Untuk setiap titik-titik yang akan dipasang (titik-titik baru), apabila pengukurannya menggunakan metoda pengamatan satelit, harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut ;
1)    Lokasi yang mudah dicapai.
2)   Ruang pandang bebas ke langit ± 15° dari horizon.
3)   Jauh dari sumber interferensi elektris.
Titik-titik yang dipasang dan diukur dengan pengukuran terrestrial harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut ;
1)    Setiap titik pada jaringan kerangka titik dasar teknik harus dapat terlihat dengan titik sebelum dan sesudahnya.
2)    Sudut  yang  akan diukur harus tidak terlalu lancip (sudut tidak kurang dari 30° ) dan tidak terlalu tumpul (sudut tidak lebih  dari  330°).
3)    Tidak berada pada tanah dengan kemiringan yang curam serta tidak berawa.
Mengingat fungsi titik dasar teknik sebagai pengikatan, diusahakan sebaiknya lokasi titik dasar teknik berada pada tanah-tanah negara dan kondisi tanahnya relatif stabil. Contoh; berada di kantor-kantor pemerintahan/swasta. Setelah mempertimbangkan seluruh kriteria tersebut di atas,  tandai lokasi titik dasar teknik tersebut dengan patok kayu di lapangan dan pada peta rencana serta diupayakan untuk mendapatkan izin pemasangan dari pimpinan instansi setempat bila titik dasar teknik yang akan dipasang berada pada kantor pemerintahan/swasta atau pemilik tanah bila titik dasar teknik tersebut akan dipasang pada tanah-tanah masyarakat. Demikian pula kepada instansi pemilik tugu bila tugu instansi tersebut akan dipergunakan sebagai titik dasar teknik orde 4. Bila tugu tersebut dipakai, cantumkan nomor titik dasar teknik tersebut di peta rencana sesuai dengan lampiran 1. Penomoran dilakukan sebagai berikut;  bila di lapangan ditemukan tugu Dinas Tata Kota dengan nomor tugu DTK-205, pada peta rencana dicantumkan DTK-205/101, dimana 101 adalah nomor urut titik dasar teknik orde 4 di desa/kelurahan tersebut.

d.      Monumentasi
Monumentasi berupa pemasangan konstruksi fisik titik dasar teknik sesuai dengan pasal 5 dan lampiran 1. Titik dasar teknik orde 2,3 dibuat dengan konstruksi beton dan titik dasar teknik orde 4 dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan dengan tetap memperhatikan kondisi tanah di lokasi pemasangan, ketersediaan bahan dan kemudahan untuk membawa ke lokasi serta keamanan fisik di lapangan.
Konstruksi titik dasar teknik orde 4 dibedakan untuk daerah padat dan terbuka.
1)    Daerah padat adalah daerah dengan tingkat pembangunan yang cukup tinggi, yang ditandai dengan cepatnya perubahan fisik di daerah tersebut dan pola penggunaan tanah yang menjurus ke arah pemukiman dan jasa. Mengingat perubahan tersebut, pemasangan titik dasar teknik menggunakan 2 (dua) alternatf, yaitu;
a)       Alternatif pertama berupa konstruksi beton dan ditempatkan pada trotoar-trotoar jalan, bahu jalan dan sebagainya, yang diperkirakan lokasi titik dasar teknik tersebut akan mengalami perubahan fisik.
b)      Alternatif kedua berupa bahan kuningan, misalnya; pada lokasi bidang tanah dimana pada bidang tanah tersebut telah berdiri bangunan permanen dan diperkirakan bangunan tersebut tidak akan dibongkar dalam waktu yang cukup lama. 
2)    Daerah terbuka adalah daerah dengan tingkat pembangunan yang lambat, yang ditandai dengan  pola umum penggunaan tanah yang menjurus ke arah pertanian sederhana yang dilakukan oleh penduduk sekitarnya. Konstruksi titik dasar teknik pada daerah ini berupa konstruksi beton, dengan harapan bahwa titik dasar teknik ini dapat dipakai dalam waktu yang cukup lama.
Selain kedua kontruksi tersebut, titik dasar teknik dapat juga dibuat berdasarkan tugu-tugu instansi lain yang telah terpasang di daerah tersebut. Hal ini dilakukan untuk dapat menyatukan sistem pemetaan yang telah dikembangkan Badan Pertanahan Nasional dengan sistem pemetaan di instansi-instansi lainnya, dengan syarat kondisi fisiknya baik (tidak pecah, retak), stabil (tidak goyang) dan pada lokasi tugu tersebut dimungkinkan dilakukannya pengukuran dengan alat pengukuran sudut dan jarak. Misalnya; tugu-tugu yang dibangun oleh Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan, Bakosurtanal, Direktorat Tata Kota dll. Bila hal ini dilaksanakan, tugu tersebut tidak perlu dirubah konstruksi fisiknya dan tidak dilaksanakan pergantian nomor tugu di lapangan.
Titik dasar teknik perapatan dibuat dengan alasan tidak dimungkinkannya dilakukan pengikatan langsung suatu bidang tanah dari titik dasar teknik orde 2, 3 atau 4. Untuk itu diperlukan titik-titik bantu yang merapatkan titik dasar teknik tersebut dan bersifat sementara atau dengan kata lain hanya dipergunakan pada saat pengukuran bidang tanah dilaksanakan. Dalam praktek di lapangan, titik dasar teknik perapatan dibuat dengan bahan sederhana yang tersedia di daerah setempat, misalnya ; patok kayu, paku seng dimana bahan ini nantinya tidak digunakan untuk waktu yang cukup lama karena pada dasarnya walaupun pengikatan suatu bidang tanah dilakukan dari titik dasar teknik perapatan, pekerjaan rekonstruksi batas tetap dilakukan dengan mengikatkan kepada titik dasar teknik orde 2,3 atau 4.
Dalam pendaftaran tanah sporadik seperti diuraikan dalam pasal 79 butir e, pemohon pengukuran diwajibkan untuk memasang titik dasar teknik orde 4 dengan catatan bahwa kedua titik dasar teknik tersebut dapat dijadikan ikatan langsung pengukuran bidang tanah yang dimohon. Selain itu, mengingat fungsi titik dasar teknik ini juga dijadikan dasar pengikatan bidang tanah pada satu lembar peta pendaftaran (pasal 29 ayat 3), lokasi kedua titik dasar teknik tersebut diharapkan dapat menjangkau seluruh bidang-bidang tanah yang terdapat pada lembar tersebut. Bila hal ini tidak memungkinkan dilakukan, pemasangan titik dasar teknik orde 4 tetap dilakukan dan pengikatan bidang tanah dilakukan dari titik dasar teknik perapatan.
Pemasangan titik dasar teknik dilakukan berdasarkan peta perencanaan yang telah diperbaiki pada saat survei pendahuluan dilaksanakan. Dengan demikian, kesinambungan kerja antara pelaksana survey pendahuluan dengan pemasangan dapat berjalan dengan baik dan pelaksana pemasangan tidak perlu menunggu sampai pelaksana survey pendahuluan menyelesaikan tugasnya secara keseluruhan. Pemasangan tugu dilakukan dengan cara mencabut patok kayu yang berada di lapangan dan menggantinya dengan konstruksi fisik yang telah ditetapkan dengan nomor titik dasar teknik sesuai dengan peta perencanaan.


3.     Pengukuran Titik Dasar Teknik

Pengukuran titik dasar teknik dilaksanakan dengan menggunakan metoda pengamatan satelit atau metoda lainnya (pasal 7). Titik Dasar Teknik dipakai sebagai pengikatan bidang tanah dan pengikatan bagi perapatan titik dasar teknik dengan ketelitian di bawahnya.
Berkaitan dengan pengukuran titik dasar teknik yang harus diikatkan kepada titik dasar teknik yang lebih tinggi ordenya, titik dasar teknik orde 2 harus lebih teliti dibandingkan dengan titik dasar teknik orde 3,4 dan titik dasar teknik orde 3 harus lebih teliti dibandingkan titik dasar teknik orde 4. Sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dan peralatan yang ada, Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan hanya melaksanakan pengukuran titik dasar teknik orde 4 dan titik dasar teknik perapatan serta Direktorat Pengukuran dan Pemetaan melaksanakan pengukuran titik dasar teknik orde 2, 3, 4 dan titik dasar teknik perapatan. Pengukuran titik dasar teknik orde 2 dan 3 dapat dilaksanakan oleh Kanwil Propinsi dan atau Kantor Pertanahan setelah mendapat pelimpahan wewenang dari Direktur Pengukuran dan Pemetaan setelah mempertimbangkan kesiapan sumber daya manusia dan peralatannya. Metoda pengukuran yang dapat dipakai adalah pengamatan satelit, pengukuran terrestrial dan pengukuran fotogrametrik.

a.      Pengamatan Satelit

Pengamatan satelit adalah model penentuan posisi titik-titik di permukaan bumi dimana posisi titik dinyatakan dengan melakukan pengukuran terhadap konstelasi satelit. GPS (Global Positioning System) merupakan salah satu sistem dari model pengamatan satelit yang ada.

































Gambar. 7. Pengukuran Titik Dasar Teknik dan Pengikatan Bidang Tanah





GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat.  GPS dapat digunakan setiap saat tanpa bergantung pada waktu dan cuaca. Karena karakteristiknya ini, penggunaan GPS dapat meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas pelaksanaan pengukuran dengan memperpendek waktu pelaksanaan dan menekan biaya operasional.
GPS mempunyai ketinggian  orbit yang cukup tinggi dan jumlah satelit yang relatif banyak sehingga dapat meliput wilayah yang cukup luas dan dapat digunakan oleh banyak orang pada waktu yang bersamaan.
Berdasarkan pengamatan satelit, titik dasar teknik diukur dengan cara :
1)    Static Positioning
Penentuan posisi secara static positioning adalah penentuan posisi dari titik-titik yang statik (diam). Penentuan posisi tersebut dapat dilakukan secara absolut maupun differensial, dengan menggunakan data pseudorange dan atau fase. Karakteristik secara umum :
a)      Memerlukan waktu pengamatan yang lama (dalam selang waktu jam).
b)      Perhitungan dilakukan baseline per baseline yang kemudian diikuti perataan jaringan.
c)      Perhitungan dapat dilakukan dengan ambiguity float (cycle ambiguity dianggap sebagai bilangan pecah) atau ambiguity fixed (cycle ambiguity dijadikan bilangan bulat).
d)      Ukuran lebih pada suatu epoch pengamatan biasanya banyak.
e)      Ketelitian posisi yang diperoleh mm sampai cm.
Metoda pengamatan satelit ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 2 atau 3.

2)    Rapid Static
Penentuan posisi secara rapid static pada dasarnya adalah survai statik dengan waktu pengamatan yang lebih singkat. Metoda ini bertumpu pada proses penentuan ambiguitas fase yang cepat . Karakteristik secara umum :
a)      Lama pengamatan bergantung pada panjang baseline, jumlah satelit serta geometri satelit.
b)      Berbasiskan differential positioning dengan menggunakan data fase.
c)      Persyaratan mendasar ; penentuan ambiguitas fase secara cepat.
d)      Memerlukan geometri satelit yang baik, tingkat bias dan kesalahan data yang relatif rendah, serta lingkungan yang relatif tidak menimbulkan multipath.
e)      Satu baseline umumnya diamati dalam dua sesi pengamatan.
f)        Ketelitian posisi yang diperoleh cm.
Metoda pengamatan satelit ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.

3)    Stop and Go
Pada metoda penentuan posisi ini, titik-titik yang akan ditentukan posisinya tidak bergerak sedangkan receiver GPS bergerak pada titik-titik dimana pada setiap titiknya receiver yang bersangkutan diam beberapa saat di titik-titik tersebut. Karakteristik secara umum :
a)      Moving receiver bergerak dan stop (selama beberapa menit) dari titik ke titik.
b)      Ambiguitas fase pada titik awal harus ditentukan sebelum receiver bergerak.
c)      Selama pergerakan antara titik ke titik, receiver harus selalu mengamati sinyal GPS (tidak boleh terputus).
d)      Berbasiskan differential positioning dengan menggunakan data fase.
e)      Ketelitian posisi yang diperoleh cm.
Metoda pengamatan satelit ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.

1)      Spesifikasi Teknik   
a)      Rencana/desain jaringan harus dibuat di atas fotocopy peta topografi yang meliputi; desain dan geometris jaringan. Perencanaan ini harus memperhitungkan kekuatan jaringan titik dasar teknik.
b)      Jumlah baseline yang membentuk suatu loop paling banyak adalah 4 (empat) buah baseline. Setiap stasiun dihubungkan dengan minimal tiga buah baseline non trivial yang diperoleh dari minimal 2 (dua) session pengamatan yang berbeda.
c)      Tiap baseline sebaiknya terdistribusi secara merata di seluruh jaringan yang ditunjukkan dengan jarak yang relatif sama. Sekurang-kurangnya terdapat 10 (sepuluh) persen common baseline sehingga dapat dilakukan pemeriksaan konsistensi pengukuran.
d)      Pengamatan satelit GPS carrier phase dipergunakan dalam model penentuan posisi relatif untuk menentukan komponen baseline antara 2 (dua) titik.
e)      Teknik pengamatan dilakukan secara Rapid Static ataupun Static dengan lama pengamatan yang disesuaikan dengan panjang baseline, dengan syarat; tersedia 6 satelit, GDOP yang lebih kecil dari 8 (delapan), kondisi atmosfer dan ionosfer yang memadai dan interval antar epoch 15 detik.
f)        Terdapat minimal satu titik sekutu yang menghubungkan dua session pengamatan dan lebih diharapkan menggunakan baseline sekutu.
g)      Pengamatan satelit tidak dilakukan dengan elevasi dibawah 15°.
h)      Ketinggian dari antena harus diukur pada tiap titik sebelum dan sesudah data dari satelit dicatat. Kedua data ketinggian tersebut tidak boleh berbeda lebih dari 2 mm.

2)      Peralatan
a)      Seluruh pengamatan harus mempergunakan receiver GPS geodetic yang mampu mengamati codes dan carrier phase.
b)      Receivers single frequency (L1) dapat digunakan tetapi penggunaan dual frequency (L1 dan L2) lebih diharapkan.
c)      Jika omni-directional antena tidak dapat dipakai, antena-antena pada titik-titik yang diamati bersamaan harus diorientasi ke arah yang sama.
d)      Pada titik dimana pemantulan sinyal GPS mudah terjadi (seperti pantai, danau, tebing, bangunan bertingkat), antena harus dilengkapi dengan ground plane untuk mengurangi pengaruh dari multi-path.
e)      Komponen dari sutu receiver harus dari merk dan jenis yang sama, dan harus memakai centering optis.
f)       Minimal digunakan 3 (tiga)  receiver GPS secara bersamaan selama pengamatan.

3)      Pengolahan Data
a)      Seluruh reduksi baseline harus dilakukan dengan menggunakan software processing GPS yang sesuai dengan receiver yang digunakan.
b)      Proses reduksi baseline harus mampu menghitung besarnya koreksi troposfer dan koreksi ionosfer untuk data pengamatan.
c)      Untuk setiap baseline di dalam jaringan titik dasar teknik orde 2, standard deviasi (s) hasil hitungan dari komponen baseline toposentrik (dN, dE, dH) yang dihasilkan oleh software reduksi baseline harus memenuhi hubungan berikut :
sN £ sM
s£ sM
s£ 2 sM, dimana :
sM = [10 2 + (10d) 2 ] ½ / 1,96 mm, dimana d adalah panjang baseline dalam kilometer.
d)      Pada baseline yang diamati 2 (dua) kali, untuk baseline < 10 km, komponen lintang dan bujur dari kedua baseline tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,03 meter. Komponen tinggi tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,06 meter. Sedangkan untuk baseline > 10 km, komponen lintang dan bujur dari kedua baseline tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,05 meter. Komponen tinggi tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,10 meter.
e)      Perataan jaring bebas dan terikat dari seluruh jaring harus dilakukan dengan menggunakan software perataan kuadrat terkecil yang telah dikenal.
f)        Integritas pengamatan jaringan harus dinilai berdasarkan :
(1)   Analisis dari baseline yang diamati 2 kali.
(2)   Analisis terhadap perataan kuadrat terkecil jaring bebas
(3)   Analisis perataan kuadrat terkecil untuk jaring terikat dengan titik berorde lebih tinggi.
g)      Akurasi komponen horizontal jaring akan dinilai terutama dari analisis elips kesalahan garis 2D yang dihasilkan oleh perataan jaring bebas untuk setiap baseline yang diamati.
h)      Semi major axis dari elips kesalahan garis (1s) harus lebih kecil dari harga parameter r yang dihitung sebagai berikut ;
titik dasar teknik orde 2 : r = 15 (d + 0,2)
titik dasar teknik orde 3 : r = 30 (d + 0,2), dimana ;
r = panjang maksimum untuk semi major axis (mm).
d = jarak dalam Km




b.      Pengukuran Terrestrial

Pengukuran terrestrial adalah penentuan posisi titik-titik di permukaan bumi dimana pada setiap yang akan diketahui koordinatnya dilakukan pengukuran jarak, sudut atau kombinasi keduanya.
Berdasarkan metoda terrestrial, titik dasar teknik diukur dengan cara:
1)      Poligon
Metoda poligon adalah salah satu cara penentuan posisi horisontal banyak titik dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan satu sama lain dengan pengukuran sudut dan jarak sehingga membentuk rangkaian titik-titik (poligon). Metoda ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4 dan titik dasar teknik perapatan.
Poligon adalah salah satu metode terestris dalam pengadaan titik-titik dasar kerangka pemetaan di daerah yang akan dipetakan, dengan cara membentuk bangun segi banyak yang diukur sudut-sudut dan jarak-jaraknya (serta asimutnya jika diperlukan).
Titik-titik jaring poligon ini akan ditentukan koordinatnya, dan akan dijadikan ikatan daripada detil-detil di permukaan bumi yang akan digambarkan di peta. Apabila kerangka pemetaan ini baik (dalam arti bentuk, persebaran dan ketelitiannya), maka diharapkan bahwa peta yang akan dihasilkan juga akan baik kualitasnya.
Untuk pemetaan di daerah yang relatif sempit (plane surveying), dimana kelengkungan bumi dapat diabaikan (< 30x 30 km), metode poligon ini lebih cocok daripada metode yang lain, karena:

* peralatannya mudah didapat;
* pengukuran dan hitungannya sederhana; dan
* Bentuk dari poligon dapat disesuaikan (fleksibel) dengan keadaan daerah yang dipetakan.
Dalam pengadaan poligon, yang diukur adalah jarak dan sudut. Jika koordinat dihitung dari titik  awal secara berurutan hingga di titik akhir, maka sesuai dengan teori kesalahan dalam penentuan koordinat poligon, bahwa semakin jauh dari titik ikat kesalahan yang ditimbulkan semakin besar. Oleh karena itu dibutuhkan kontrol di akhir dari jaring poligon yang dibentuk, baik agar kesalahan tersebut tidak merambat dan terakumulasi di titik akhir, atau dapat dilakukan perataan kesalahan pada titik jaring poligon.

a)      Pengukuran dengan cara poligon tertutup (pengukuran titik dasar teknik diawali dan diakhiri di satu titik yang telah diketahui koordinatnya) hanya lakukan bila pada jaringan poligon  tersebut ditemui minimal 2 (dua) titik ikat yang telah diketahui koordinatnya.
b)      Pengukuran titik dasar teknik dilakukan dengan cara poligon tertutup yang membentuk lebih dari 1 (satu) loop dilakukan dengan memperhitungkan jaringan dan luas areal pengukuran titik dasar teknik.
c)      Pengukuran titik dasar teknik dilakukan dengan cara poligon terikat sempurna (tidak membentuk suatu loop) yang terikat pada 2 (dua) titik yang saling terlihat pada awal jaringan dan 2 (dua) titik yang saling terlihat pada akhir jaringan.
d)      Pengukuran titik dasar teknik dilakukan dengan cara poligon terikat sepihak.


2)      Triangulasi
Metoda triangulasi adalah salah satu cara penentuan posisi horisontal banyak titik dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan sehingga membentuk rangkaian segitiga atau jaring segitiga dimana pada setiap segitiga dilakukan hanya pengukuran sudut.  Metoda ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.

3)      Trilaterasi
Metoda trilaterasi  adalah salah satu cara penentuan posisi horisontal banyak titik dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan sehingga membentuk rangkaian segitiga atau jaring segitiga dimana pada setiap segitiga dilakukan hanya pengukuran jarak. Metoda ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.





















































4)      Triangulaterasi
Konsep pembentukan jaringan segitiga seperti dilakukan pada metode trilaterasi juga dilaksanakan pada penentuan posisi dengan metode triangulaterasi, dimana pada setiap segitiga dilakukan pengukuran jarak dan sudut. Metoda ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.








 















5)      Pengukuran Situasi Topografi

Pengukuran situasi topografi adalah pengukuran yang bertujuan untuk memetakan detil – detil kenampakan di permukaan bumi beserta naik – turun / tinggi – rendahnya permukaan tanah.
Detil – detil kenampakan yang dimaksud meliputi jalan, sungai, rumah, sawah, tegalan, taman, lapangan dan sebagainya. Pada PKL kali ini, detil kenampakan yang dipetakan dibatasi hanya objek :
·  jalan,
·  sungai / saluran,
·  area permukiman penduduk ( termasuk kantor, tempat ibadah dan sosial, lapangan 
    tenis, lapangan voli, dan sejenisnya ),
·  lapangan sepakbola,
·  area persawahan / tegalan,
·  area kuburan,
· area wisata dan kuliner (hotel, resto, agrowisata, dan sejenisnya), dan
·  batas administrasi desa dan dusun.

6)      Sipat Datar (Waterpassing)

a)      Tinggi Titik Terhadap Bidang Referensi

Tinggi suatu titik bereferensi / mengacu pada suatu bidang horizontal (bidang nivo / bidang ekuipotensial). Bidang horizontal untuk referensi tinggi adalah permukaan air laut rata-rata (mean sea level = MSL), yang merupakan salah satu bidang ekuipotensial yang menyelimuti bumi. Pada bidang ini, semua garis gaya berat akan tegak lurus (vertikal) dari padanya.
Ketinggian sebuh titik terukur secara vertikal ( mengikuti garis gaya berat) dari bidang MSL hingga ke titik tersebut.


Gambar 11. Kedudukan titik terhadap MSL

b)      Penentuan Beda Tinggi

Sipat datar ( waterpassing / spirit leveling ) merupakan metode untuk menentukan beda tinggi antara2 titik, dengan prinsip garis bidik dibuat horizontal dan diarahkan pada 2 rambu yand didirikan tegak di atas 2 titik yang akan ditentukan beda tinggi 1 slag ( 1 kali kedudukan waterpass )

Gambar 12. Waterpassing
Keterangan :
b  adalah bacaan benang tengah pada rambu ukur belakang
m adalah bacaan benang tengah pada rambu ukur muka
 Beda tinggi antara titik A dan B adalah : DZAB = b – m

c.       Spesifikasi Teknik
Pengukuran dilaksanakan dengan membuat poligon utama dan poligon cabang.
1)     Poligon Utama
a)        Gunakan theodolit dengan ketelitian kurang dari 1”
b)       Pengukuran sudut dengan dua seri rangkap
c)        Selisih bacaan horisontal kurang dari 10”
d)       Selisih sudut horisontal antar seri kurang dari 5”
e)        Jarak diukur dengan EDM minimal 5 kali, perbedaan dari kelima bacaan kurang dari 10 mm. Selisih bacaan muka dan belakang kurang dari 10 mm. Untuk hitungan digunakan rata-ratanya.
f)         Poligon diikatkan pada orde yang lebih tinggi.
g)        Pengukuran dengan menggunakan poligon tertutup.
h)        Penghitungan dengan metode bowditch dan digunakan format hitungan yang ada.
i)          Asimut dihitung dengan minimal 2 titik ikat dengan cara pendekatan atau transformasi. Salah penutup sudut tidak boleh lebih dari 10”Ön, n adalah jumlah titik poligon. Salah penutup jarak tidak boleh lebih dari 1:6000.

2)     Poligon Cabang
a)        Poligon cabang harus terikat kedua ujungnya pada poligon utama.
b)       Jika hanya satu ujung saja terikat, jumlah poligon tidak lebih dari 2 titik dan pengukuran sudut-sudut secara 3 seri rangkap.
c)        Jarak-jarak diukur dengan pita ukur baja atau steelon dan/atau EDM/ETS.
d)       Pelurusan jarak dilakukan dengan jalon atau dipandu oleh garis bidik teropong theodolit dengan maksimal 2 (dua) kali bentangan pita ukur. Pengukuran jarak dilaksanakan secara pergi-pulang.
e)        Jika memungkinkan, target (ujung paku) langsung dibidik. Jika tidak memungkinkan, target memakai unting-unting yang digantung dengan kayu/bambu ataujalon sejumlah 3 buah; dilarang membidik jalon sebagai target karena pengukuran sudut akan menjadi kasar;
f)         Asimuth dihitung dengan minimal 2 titik ikat dengan cara pendekatan atau transformasi. Salah penutup sudut tidak boleh lebih dari 15”Ön, n adalah jumlah titik poligon. Salah penutup jarak tidak boleh lebih dari 1:3000.
g)        Penghitungan dengan metode bowditch. Ukuran dan hitungan dituangkan dalam D.I 103 dan D.I 104 (sesuai Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997).

d.      Pengukuran Fotogrametrik

Pengukuran fotogrametrik adalah penentuan posisi titik-titik di permukaan bumi dengan cara tidak langsung melalui media foto udara.  Foto udara yang dipakai diperoleh melalui pemotretan udara dan diikatkan kepada titik kontrol di lapangan.
Selain untuk keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran, metoda pengukuran fotogrametrik menghasilkan titik dasar teknik orde 3, 4 dan titik dasar teknik perapatan.

1)     Titik kontrol tanah sepanjang perimeter diukur dengan  pengamatan satelit dan dipasang dengan interval tertentu pada batas areal pemetaan yang sejajar arah jalur terbang dan pada batas areal pemetaan yang tegak lurus arah jalur terbang. Titik-titik ini kan menghasilkan koordinat yang mempunyai ketelitian sama dengan titik dasar teknik orde 3.
2)     Titik dasar teknik perapatan yang merupakan hasil pengukuran  fotogrametri adalah hasil proses orientasi absolut (setelah pelaksanaan Triangulasi Udara) yang tidak dinyatakan keberadaan fisiknya di lapangan. Pada pengukuran fotogrametri, seluruh detail geografi yang terdapat pada peta dasar pendaftaran dapat dinyatakan sebagai titik dasar teknik perapatan.
3)     Titik-titik alam (natural point), titik buatan manusia (premark) yang dinyatakan keberadaan fisiknya sesuai lampiran 1 dikelompokkan sebagai titik dasar teknik orde 4.
4)     Dengan demikian, titik dasar teknik orde 3 hasil pengukuran fotogrametrik dapat merupakan  ikatan untuk titik dasar teknik orde 4 yang lain dan seluruh detail yang ada pada peta dasar pendaftaran, misalnya ; persimpangan jalan, jembatan, tikungan sungai yang dapat diidentifikasi di lapangan dapat dijadikan ikatan bagi pengukuran bidang tanah yang berfungsi  sebagai titik dasar teknik perapatan.

4.     Penghitungan

a.      Pengolahan Data

1)    Pengolahan data sudut

a)      Data sudut yang dipakai pada pengolahan data adalah rata-rata hasil pengukuran pada posisi biasa dan luar biasa.
b)      Bila pembacaan sudut vertikal pada theodolit yang dipakai adalah sudut zenith, kata-kata Sudut Miring pada judul kolom dicoret dan berlaku pula sebaliknya untuk sudut miring.
c)      Hitungan sudut ukuran mendatar dilakukan pada DI 103, dengan ketentuan ;

(1)   Kolom 3,4,5 diisi dengan hasil hitungan sudut ukuran mendatar pada posisi biasa dalam satuan derajat, menit dan detik, dengan ketentuan :
b1 = M1 – B1, dimana ;
b1    = sudut ukuran mendatar posisi biasa
M1 = bacaan sudut mendatar pada jurusan muka posisi
        biasa
B= bacaan sudut mendatar pada jurusan belakang  posisi
       biasa
(2)   Kolom 6,7,8 diisi dengan hasil hitungan sudut ukuran mendatar pada posisi luar biasa dalam satuan derajat, menit dan detik, dengan ketentuan :
b2 = M2 – B2, dimana ;
b2  = sudut ukuran mendatar posisi biasa
M2 = bacaan sudut mendatar pada jurusan muka posisi
        biasa
B= bacaan sudut mendatar pada jurusan belakang 
        posisi biasa
(3)   Kolom 9,10,11 diisi dengan hasil hitungan rata-rata sudut ukuran mendatar dalam satuan derajat, menit dan detik, dengan ketentuan :
b= ( b1 + b2 ) / 2, dimana ;
b= sudut ukuran
(4)   Kolom 18,19,20 diisi dengan hasil hitungan sudut ukuran vertikal dalam satuan derajat, menit dan detik dengan ketentuan :
z = (z1 + z2) / 2, dimana ;
z = sudut vertikal
z1= sudut vertikal dalam posisi biasa
z2= sudut vertikal dalam posisi luar biasa
(5)   Bila pembacaan sudut vertikal pada theodolit yang dipakai adalah sudut zenith, rata-rata sudut miring (kolom 18,19 dan 20) dihitung dari ; m = 90 – z, dimana : m = sudut miring dan z = sudut zenith.

2)    Pengolahan data jarak

a)      Hitungan jarak datar ukuran dilakukan pada DI 103.
b)      Untuk perhitungan dalam sistem koordinat lokal, jarak yang dipakai pada perhitungan jaringan titik dasar teknik adalah jarak datar ukuran.
c)      Untuk perhitungan dalam sistem koordinat nasional, jarak yang dipakai pada perhitungan jaringan titik dasar teknik adalah jarak pada bidang proyeksi.
d)      Jarak pada  ellipsoid  referensi dihitung dengan ketentuan ;

S = (F) Su, dimana
S = jarak pada bidang ellipsoid
(F) = Sea Level Factor (diambil dari Tabel 2-1)
Su = jarak datar ukuran.

Contoh :
Tinggi rata-rata 2 titik di atas permukaan air laut dimana pada titik tersebut dilakukan pengukuran jarak adalah 700 m dan jarak ukuran datar adalah 150 m.
S = 150 x 0,99992 = 149,988 m.

e)      Jarak pada bidang proyeksi dihitung dengan ketentuan ;
D = K S, dimana ;
D = jarak pada bidang proyeksi
K = faktor skala titik (untuk jarak maksimal 150 m) atau faktor skala garis (untuk jarak maksimal 2 km)
f)        Untuk jarak maksimal 150 m

K = 0,9999 + 1,237 (Xr.10-7)2, dimana ;
K   = faktor skala titik
Xr = absis pendekatan (dalam sistem koordinat nasional) rata-rata dari 2 titik ukuran


g)      Untuk jarak maksimal 2 km
K = 0,9999 + 0,4124 ((X1.10-7)2+(X2.10-7)2 + (X1  10-7)
(X2 10-7))

3)    Pengolahan data sudut jurusan
a)      Penentuan arah Utara geografi dapat dihitung dari 2 (dua) titik dasar teknik yang telah diketahui  koordinatnya.
b)      Bila dilakukan pengamatan matahari, Utara geografi didapat dengan melakukan perhitungan azimut suatu sisi berdasarkan tabel almanak matahari yang dikeluarkan oleh Institut  Teknologi Bandung atau Direktorat Topografi TNI-AD.
c)      Bila dilakukan pengukuran azimut magnetis, Utara geografi diambil pendekatan sama dengan azimut magnetis.
4)    Pengolahan data jaringan titik dasar teknik
a)      Pengolahan data jaringan dilakukan secara manual atau dijital.
b)      Bila pengolahan data jaringan dilakukan dalam sistem koordinat nasional dan cakupan lokasi pengukuran mencakup 2 (dua) zone TM-3°, pengolahan data dilakukan untuk setiap zone TM-3°.
c)      Pengolahan data poligon dilakukan dengan cara memberikan koreksi sudut / jarak dari jaringan titik dasar teknik.
d)      Pengolahan data triangulasi dilakukan dengan cara memberikan koreksi sudut dari setiap segitiga.
e)      Pengolahan data trilaterasi dilakukan dengan cara memberikan koreksi jarak dalam setiap segitiga yang didapat dari syarat geometris segitiga.
f)        Bila pengukuran dilakukan dengan metode triangulasi, trilaterasi atau triangulaterasi, setiap segitiga yang dibentuk harus memenuhi kriteria ketelitian di atas.
g)      Pengolahan data poligon dilakukan dengan cara perataan Bowditch atau perataan kuadrat terkecil dengan memakai DI. 104 (lampiran 37).
h)      Data hitungan koordinat (poligon) (DI 104) terdiri dari 17 (tujuh belas) kolom, dan diisi dengan ketentuan ;

(1)   Kolom 1 diisi dengan nomor titik yang dipakai sebagai jaringan pengukuran.
(2)   Kolom 2 diisi dengan dengan rata-rata sudut mendatar  dalam derajat (°), dan disalin dari kolom 9 DI 103 dan dituliskan pada baris dimana dilakukannya pengukuran sudut.
(3)   Kolom 3 diisi dengan dengan rata-rata sudut mendatar  dalam menit (‘), dan disalin dari kolom 10 DI 103 dan dituliskan pada baris dimana dilakukannya pengukuran sudut.
(4)   Kolom 4 diisi dengan dengan rata-rata sudut mendatar  dalam detik (²), dan disalin dari kolom 11 DI 103 dan dituliskan pada baris dimana dilakukannya pengukuran sudut.
(5)   Kolom 5 diisi dengan nilai koreksi sudut mendatar dalam satuan detik (“).
(6)   Kolom 6 diisi dengan nilai sudut jurusan dalam satuan derajat (°).
(7)   Kolom 7 diisi dengan nilai sudut jurusan dalam satuan menit (‘).
(8)   Kolom 8 diisi dengan nilai sudut jurusan dalam satuan detik (“).
(9)   Kolom 9 diisi dengan nilai jarak dalam satuan meter (m).
(10)     Kolom 10 diisi dengan nilai perkalian jarak dengan sinus sudut jurusan.
(11)     Kolom 11 diisi dengan nilai koreksi absis dalam satuan meter.
(12)     Kolom 12 diisi dengan nilai perkalian jarak dengan cosinus sudut jurusan.
(13)     Kolom 13 diisi dengan nilai koreksi ordinat dalam satuan meter (m).
(14)     Kolom 14 diisi dengan nilai absis (X) dalam satuan meter (m).
(15)     Kolom 15 diisi dengan nilai ordinat (Y) dalam satuan meter (m).
(16)     Kolom 16 diisi dengan diisi dengan nomor titik yang dipakai sebagai jaringan pengukuran.
(17)     Kolom 17 diisi dengan keterangan yang berhubungan dengan titik.

5)    Pengolahan data lapangan, antara lain sebagai berikut:

a)      Poligon Tertutup

 Poligon tertutup adalah poligon yang titik awalnya sama dengan titik akhirnya. Contoh berikut ini adalah poligon tertutup satu titik (terikat koordinat dan asimutnya).




Gambar 13. Poligon Tertutup Terikat Satu Titik





Keterangan:
A dan B adalah titik ikat yang diketahui koordinatnya.
a A-B  adalah asimut A ke B
S0 adalah sudut pengikatan
a A-1 adalah asimut A ke 1, (aA-1 = a A-B + S0 )
1,....,4 adalah titik - titik yang akan ditentukan koordinatnya
S1,....., S5 adalah sudut dalam poligon
D1,...., d5 adalah jarak sisi poligon
Syarat geometri poligon tertutup yang harus dipenuhi adalah:
1. Syarat sudut:
SS = (n-2). 1800  (apabila yang diukur sudut dalam)
SS = (n+2). 1800  (apabila yang diukur sudut luar)

2. Syarat absis:
Sd sin  a = 0 
3. Syarat ordinat:
Sd cos a = 0

Untuk memenuhi syarat geometri tersebut, maka data pengukuran lapangan yang tidak lepas dari kesalahan perlu dilakukan hitung perataan. Dalam Praktek Kerja Lapangan kali ini, metode perataan kesalahan yang dipakai adalah metode Bowditch.

Selain cara pengikatan seperti yang telah diterangkan di atas, dalam penyelenggaraan poligon guna pengadaan TDT orde 4 seringkali dihadapkan pada permasalahan, seperti untuk memenuhi persyaratan pengikatan poligon terikat sempurna tidak begitu mudah dilaksanakan di lapangan, Hal ini disebabkan keterbatasan dari titik –titik ikat orde 3 di lapangan, bahkan sekalipun ada, jaraknya sekitar 1 hingga 2 Km. Oleh karena itu perlu ditempuh suatu cara hitungan poligon tertutup terikat dua titik, dengan tetap memenuhi syarat geometri dan ketelitian koordinat yang diinginkan.




Gambar 14. Poligon Tertutup Terikat Dua Titik

Text Box:
Dari gambar di atas, data poligon adalah sebagai berikut.
* sudut ukuran
* jarak ukuran
* koordinat awal
*koordinat akhir
Untuk menghitung koordinat titik poligon TP-1 s.d. TP-7 diperlukan asimut awal poligon. Cara untuk memperolehnya adalah dengan membuat salib sumbu sementara (U,V), dimana sumbu V berimpit dengan garis poligon yang akan dihitung asimutnya.
Dari gambar di atas, asimut awal poligon dapat dihitung dengan cara sebagai berikut.
 a1 = a PQ – P
a PQ = arc tan ((Xq – Xp)/(Yq – Yp))
P = arc tan (dU/dV)

Dalam hal ini:
dU = S (di sin bi) = d1 sin b1 + d2 sin b2 + d3 sin b3+...... + d5 sin b5
dV = S (di cos bi) = d1 cos b1 + d2 cos b2 + d3 cos b3+...... + d5 cos b5
keterangan :
a1 s.d. a9 adalah asimut sisi poligon terhadap salib sumbu koordinat (x,y)
b1 s.d. b9 adalah asimut sisi poligon terhadap salib sumbu koordinat (U,V)
b1 = 00
b2 = b1 + S1 – 1800
b3= b2 + S2 – 1800
.......
b9 = b8 + S8 – 1800

Setelah asimut a1 didapat, maka asimut poligon sisi lainnya (a2 s.d. a 9) dapat dihitung. Demikian juga koordinat poligon dapat dihitung dengan Metode Bowditch.

b)      Poligon Terbuka Terikat Sempurna

Poligon terbuka adalah poligon yang titik awalnya tidak sama dengan titik akhirnya. Contoh berikut ini adalah poligon terbuka terikat sempurna (terikat koordinat dan asimutnya).


Gambar 15. Poligon Terbuka Terikat Sempurna


Keterangan :
A dan B adalah titik ikat awal yang diketahui koordinatnya
P dan Q adalah titik ikat akhir yang diketahui koordinatnya
a A-B adalah asimut A – B
a PQ adalah asimut PQ
1,2,3 adalah titik-titik yang akan ditentukan koordinatnya.
S1,....,S5 adalah sudut dalam poligon
D1,...., d5 adalah jarak sisi poligon

Syarat geometri poligon terbuka terikat sempurna yang harus dipenuhi adalah:
(1). Syarat sudut:
     SS = (a akhir - a awal) + (n).1800
(2). Syarat absis:
     S d sin a = Xp - Xb
(3). Syarat ordinat:
S d cos a = Yp - Yb

Untuk memenuhi syarat geometri tersebut, maka data pengamatan perlu dilakukan hitung perataan. Metode perataan kesalahan yang dipakai adalah metode Bowditch.

c)      Poligon Terbuka Terikat Sepihak

Sekalipun metode ini tidak dianjurkan, bahkan perlu dihindari dalam pekerjaan pemetaan, tetapi kondisi lapangan yang miskin titik ikat (termasuk dalam pengukuran kadastral di tanah air) menuntut untuk dilaksanakan metode ini. Berikut ini adalah poligon terikat sepihak (terikat koordinat / asimutnya).


Gambar 16. Poligon Terbuka Terikat Sepihak




Keterangan :
A dan B                : adalah titik ikat yang diketahui koordinatnya
aA-B                   : adalah asimut AB
S0, S1                  : adalah sudut pengikatan poligon
aA-1                    : adalah asimut A1, (  a A1 = aA-B + S0 )
1,2                                    : adalah titik-titik yang akan ditentukan koordinatnya
d1, d2                   : adalah jarak sisi poligon

Koordinat titik 1 dan 2 dapat ditentukan tanpa melalui hitung perataan kesalahan dengan rumus :
X1 =  XA + d1. sin aA-1
Y1 =  YA + di. Cos aA-1

X2 =  X1 + d2. sin ( aA-1 - 180° + S1 )
Y2 =  Y1 + d2. cos ( aA-1 - 180° + S1)

d)      Pengolahan data hasil Pengukuran Situasi Topografi

Metode pengukuran yang digunakan adalah metode polar dengan unsur jarak dan sudut, sebagai berikut.





Gambar 17. Pengukuran terhadap situasi / detail




Keterangan :
BPN – 056, 057   adalah titik kontrol ( TDT ) yang mempunyai koordinat ( X, Y, Z )
a  titik detil yang akan dipetakan
S adalah sudut, yang merupakan selisih bacaan horizontal arah a dan  arah BPN  - 056
d adalah jarak tempat berdiri teodolit dan titik detil. Jika diukur secara optis, maka : d = 100 ( ba – bb ) cos2h

Sehingga rumus untuk menghitung koordinat titik a adalah :
Xa = X057  + d. Sin ( a057-056 + Hz.a – Hz.056 )
Ya = Y057  + d. Cos ( a057-056 + Hz.a – Hz.056 )
Za =   Z057 + d. Tan h + ti – bt


keterangan :
a057-056  adalah asimut 057 – 056.
Hz.a        adalah bacaan piringan horizontal arah detil a.
Hz.056  adalah bacaan piringan horizontal arah BPN – 056.
H adalah heling teropong.
ti adalah tinggi instrumen teodolit terhadap titik kontrol ( TDT ).
Bt adalah tinggi target, yang merupakan bacaan benang tengah jika dipergunakan rambu ukur.

Cara pengukuran diatas disebut juga cara tachimetri.

Dalam memilih titik detil, terdapat ketentuan :
(1).  Jalan dengan lebar < 3 m, titik yang diambil adalah 1 titik ditengah – tengah jalan,
      sehingga nantinya akan tergambar di peta sebagai garis tunggal.
(2).  Jalan dengan lebar ³ 3 m, titik yang diambil adalah 2 titik dipinggir jalan,
      sehingga nantinya akan tergambar di peta sebagai garis tunggal.
(3).  Sungai / saluran dengan lebar < 3 m, titik yang diambil adalah 1 titik ditengah –
      tengah sungai, sehinnga nantinya akan tergambar di peta sebagai garis tunggal
      yang diberi tanda aliran.
(4).  Sungai / saluran dengan lebar ³ 3 m, titik yang diambil adalah 2 titik ditepi tebing -tebing sungai, sehinnga nantinya akan tergambar di peta sebagai garis ganda
      yang ditengahnya diberi tanda aliran.
(5).  Area / lapangan, titik yang diambil adalah titik yang merupakan delineasi area
     yang dimaksud, sehinnga tergambar di peta akan mewakili bentuk areanya.Jika      area tersebut sangat luas maka perlu dilakukan pengukuran titik – titik tinggi yang     menyebar di dalam area ( pengukuran griding ).

e)      Pengukuran Zijlag

Jika pengambilan detil menemui kesulitan akibat adanya halangan, maka dapat ditempuh pengukuran zijlag.


Gambar 18. Pengukuran zijlag



Keterangan :
BPN – 1 dan BPN – 2 adalah titik ikat yang diketahui koordinatnya.
T adalah titik zijlag yang diadakan dengan cara tachimetri sebagaimana pengukuran titik detil.
a2-1 adalah asimut 2 – 1
S0 adalah sudut zijlag
a2-T   adalah asimut zijlag ( a2-T = a2-1 + S0 )
D adalah jarak zijlag
a adalah titik detil
S1 adalah sudut pengikatan detil
d1 adalah jarak pengikatan detil

f)       Waterpassing Memanjang

Gambar berikut adalah waterpassing memanjang untuk menentukan tinggi titik-titik yang dilalui.


Gambar 19. Pengukuran waterpassing memanjang



Keterangan :
b dan m masing-masing adalah bacaan benang tengah rambu belakang dan muka.
A dan B adalah titik-titik referensi yang mempunyai angka tinggi.
1, 2 dan 3 adalah titik-titik yang akan ditentukan ketinggiannya.

Beberapa catatan :
(1)   Dalam pengukuran, selain daripada benang tengah ( bt ), dibaca juga benang atas ( ba ) dan benang bawah ( bb ).
(2)   Pembacaan ba dan bb digunakan untuk menghitung jarak slag, guna hitung perataan.
(3)   Jumlah slag dibuat genap dan kedua rambu ditempatkan selang-seling.
(4)   Dalam pengamatan, alat waterpass ditempatkan kira-kira di tengah-tengah kedua rambu.
(5)   Pengukuran jalur dilaksanakan pergi dan pulang.
(6)   Toleransi pengukuran : beda tinggi pergi dan pulang pada tiap-tiap slag tidak lebih dari 2 mm.

Tahapan hitung perataan :
(1) Jumlahkan beda tinggi tiap-tiap slag : S DZ = DZA1 + DZ12 + DZ23 +  DZ3B 
(2) Hitung selisih tinggi titik-titik referensi : S DZ ABDZB - DZA
(3) Kurangkan S DZ  terhadap  DZ AB, sehingga didapatkan salah penutup tinggi : fZ =  S DZ - DZAB
(4) Hitung setiap jarak slag, yaitu jarak arah belakang ditambah jarak muka, atau d = 100 { (  ba – bb ) belakang + ( ba – bb ) muka }
(5)  Jumlahkan jarak slag ( Sd )
(6) Koreksikan fZ pada tiap-tiap slag sebanding dengan jarak-jarak  slag : kZi = di / Sd. ( -fZ )
(7).  Hitung ketinggian titik 1, 2, 3 :
Z=  ZADZA1 + dA1 /  Sd. ( - fZ )
Z2   =  Z1 + DZ12 + d12  /  Sd. ( - fZ )
Z3  =  Z2 + DZ13 + d23  /  Sd. ( - fZ )
Cek  :  ZB = Z3 + DZ3B +  d3B  /  Sd. ( - fZ )
Jika hitungan benar, maka ZB hasil hitungan sama dengan  jarak ZB data referensi .

g)      Waterpassing Kring

Gambar berikut adalah waterpassing kring untuk menentukan tinggi titik-titik yang dilalui.


Gambar 20. Pengukuran waterpassing kring




Keterangan :
A adalah titik referensi yang mempunyai angka tinggi.
1, 2, dan 3 adalah titik yang akan ditentukan ketinggiannya.
Tahapan hitung perataan :
(1) Jumlahkan beda tinggi tiap-tiap slag : S DZ =  DZA1 + DZ12 + DZ23 + DZ3A
(2) Seharusnya  S DZ =  0. Jika tidak, maka terdapat salah penutup tinggi :
      fZ =  S DZ
(3) Hitung setiap jarak slag, yaitu jarak arah belakang ditambah jarak muka, atau
     d = 100 { ( ba – bb ) belakang + ( ba – bb ) muka }
(4)  Jumlahkan jarak slag (  Sd ).
(5) Koreksikan fZ pada tiap – tiap slag sebanding dengan jarak – jarak slag :
     kZ i =  d1  /  Sd. ( - fZ ).
(6) Hitung ketinggian titik 1, 2, dan 3 :
     Z1 =  ZADZA1 + dA1 /  Sd. ( - fZ )
     Z=  Z1DZ12 + d12 /  Sd. ( - fZ )
     Z3 =  Z2DZ23 + dA1 /  Sd. ( - fZ )
     Cek :  Z=  Z3DZ3A + d3A /  Sd. ( - fZ )
   
 jika hitungan benar, z a  hasil hitungan sama dengan z a data referensi.

h)      Triangulasi

(1) Hitung besarnya koreksi horizon di titik A, dengan ketentuan;
SbA = 360o
(2) Hitung besarnya koreksi sudut untuk setiap segitiga.
(3) Hitung besarnya jarak datar untuk setiap segitiga, dengan ketentuan ;
a2 = b2 + c2 - 2bc cos a
b2 = a2 + c2 - 2ac cos b
c2 = a2 + b2 - 2ab cos g,
                                               dimana :
a  =  panjang sisi AB
b = panjang sisi AC
c = panjang sisi BC
a = sudut BAC
b = sudut ABC
g = sudut BCA

(4) Hitung koordinat titik 5 dengan mengikatkan dari titik 0901123 dan 0901125.
(5) Dengan mengambil titik 5 dan 0901125 sebagai titik ikat, hitung koordinat titik A.
(6) Hitung koordinat titik lainnya dengan mengambil titik yang telah diketahui koordinatnya sebagai titik ikat.

i)        Trilaterasi

(1) Dengan data jarak datar ukuran, hitung besarnya sudut di setiap segitiga.
(2) Hitung besarnya koreksi horizon di titik A.
(3) Hitung koordinat titik triangulasi dengan cara ikatan per segitiga (sama dengan yang dilakukan pada triangulasi).



j)        Triangulaterasi

Hitungan koordinat dilakukan secara perataan kuadrat terkecil (least square adjustment).

5.     Pembuatan Peta Dasar Teknik

Setiap titik dasar teknik yang telah diukur dan dihitung harus dipetakan pada Peta Dasar Teknik (pasal. 8). Peta dasar teknik dibuat berdasarkan peta topografi atau peta lain.
Peta Dasar Teknik mempunyai fungsi sebagai berikut:
a.       Peta dasar teknik dipakai sebagai gambaran penyebaran jaringan titik dasar teknik dalam satu cakupan wilayah, penetapan titik dasar teknik yang akan dipakai sebagai titik pengikatan, perencanaan perapatan titik dasar teknik dan dipakai sebagai media pembagian lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran.
b.      Dalam hal pendaftaran tanah sporadik, segera setelah petugas pengukuran menerima perintah pengukuran (pasal 79 butir d), petugas pengukuran diharuskan memeriksa keberadaan sarana peta dan titik dasar teknik di sekitar bidang tanah tersebut dengan cara melihat letak lokasi bidang tanah yang akan diukur pada peta dasar teknik, peta dasar pendaftaran, peta pendaftaran dengan titik dasar teknik yang tersedia di lapangan. Untuk selanjutnya dilakukan evaluasi ;
1)    Apakah pemohon pengukuran harus menyiapkan minimal 2 (dua) titik dasar teknik.
2)    Titik dasar teknik yang akan digunakan sebagai titik kontrol dan titik ikat.
3)    Penggunaan sistem koordinat nasional atau sistem koordinat lokal.
c.       Dalam hal pendaftaran tanah sistematik, segera setelah lokasi pendaftaran tanah sistematik ditetapkan, satgas pengukuran dan pemetaan merencanakan penempatan titik dasar teknik orde 4 yang akan diikatkan kepada 2 (dua) buah titik dasar teknik nasional yang berada di sekitar lokasi pendaftaran tanah sistematik. Perencanaan penempatan titik dasar teknik dilakukan dengan mendistribusikan titik dasar teknik orde 4 secara merata di lokasi pendaftaran tanah sistematik dengan melihat jumlah bidang tanah yang akan didaftar.

6.     Teknis Pembuatan Peta Dasar Teknis
a.       Titik dasar teknik dipetakan pada peta topografi atau peta lain.
b.      Peta dasar teknik dibuat secara manual atau dijital.
c.       Titik dasar teknik orde 0,1,2 dan 3 dipetakan pada peta topografi / peta rupa bumi / peta lain skala 1:25.000 atau lebih kecil.
1)    Bila dipetakan pada peta topografi / peta rupa bumi, titik dasar teknik dipetakan berdasarkan koordinat geografis.
2)    Bila dipetakan pada peta lain, titik dasar teknik dipetakan berdasarkan nilai koordinat nasional.
d.      Titik dasar teknik orde 4 dan titik dasar teknik perapatan dipetakan pada peta lain dengan skala 1:10.000 atau lebih besar berdasarkan lokasi relatif titik dasar teknik tersebut terhadap objek/detail yang ada.
e.       Untuk keperluan dokumentasi dan pemeliharaan, selain harus memetakan titik dasar teknik pada skala yang disebutkan di atas, Kantor Pertanahan membuat peta dasar teknik dalam suatu cakupan wilayah administrasi Kabupaten/Kodya pada skala 1:20.000 dalam sistem koordinat nasional yang memetakan titik dasar teknik orde 0,1,2,3,4 dan titik dasar teknik perapatan pada peta lain.
f.        Dalam hal pendaftaran tanah sporadik, apabila cakupan peta dasar teknik yang ada masih memungkinkan tidak perlu dibuat dalam  lembar yang baru, melainkan hanya memetakan titik tersebut ke dalam lembar peta dasar teknik yang telah ada Bila hal ini tidak mungkin dilakukan, lembar peta dasar teknik baru perlu dipersiapkan.
g.       Dalam hal pendaftaran tanah sistematik, peta dasar teknik dibuat dalam satu lembar baru yang mencantumkan seluruh titik dasar teknik yang ada di lokasi pendaftaran tanah sistematik.

h.       Peta Dasar Teknik disalin dari hasil penggambaran diatas kertas putih. Adapun ketentuannya adalah:
1)    Bila lebih dari satu lembar yang disalin, maka dilakukan edge matching dengan cara pergeseran rata-rata.
2)    Ukuran Peta Dasar Teknik adalah 103 x 86 cm yang dibatasi garis penuh yang didalamnya terdiri atas:
                                                   a)      Muka peta: ukuran muka peta adalah 80 cm x 80 cm.
                                                  b)      Kotak keterangan: bagian yang berisi judul, keterangan, legenda, dan pengesahan dengan ukuran 15 cm x 80 cm. Kotak keterangan dibagi menjadi delapan kotak yang berurutan dari atas ke bawah, yaitu:
(1)   Kotak judul, arah utara dan skala, dengan ukuran 15 cm x 14 cm.
(2)   Kotak lokasi, dengan ukuran 15 cm x 5 cm.
(3)   Kotak penunjuk lembar peta, dengan ukuran 15 cm x 28 cm.
(4)   Kotak legenda, dengan ukuran 15 cm x 20 cm.
(5)   Kotak jumlah lembar peta, dengan ukuran 15 cm x 5 cm.
(6)   Kotak instansi pembuat, dengan ukuran 15 cm x 3 cm.
(7)   Kotak pengesahan, dengan ukuran 15 cm x 8 cm.
(8)   Kotak identifikasi pembuat, dengan ukuran 15 cm x 2 cm.
                                                   c)      Jarak antara bidang gambar dengan kotak keterangan adalah 2 cm dan jarak antara bidang gambar / kotak keterangan dengan batas tepi peta adalah 3 cm.



i.         Cara pengisian Peta Dasar Teknik

1)    Batas format peta ( diluar bidang gambar dan kotak keterangan ).
a)       Disebelah kiri atas bidang gambar ditulis nama propinsi dengan tinggi huruf 1,0 cm dan tebal huruf 1,0 mm.
b)      Disebelah tengah atas bidang gambar ditulis nama kabupaten dengan tinggi huruf 1,0 cm dan tebal huruf 1,0 mm.
c)       Disebelah kanan atas kotak keterangan ditulis nomor lembar peta dengan tinggi huruf 0,5 cm dan tebal huruf 0,5 mm.
d)      Disebelah bawah bidang gambar ditulis nomor grid yang berupa nilai absis (x), penulisan dilakukan dari bawah keatas dengan tinggi huruf 0,2 cm dan tebal huruf 0,2 mm.
e)       Disebelah kiri bidang gambar ditulis nomor grid yang berupa nilai ordinat (y), penulisan dilakukan dari kiri ke kanan dengan tinggi huruf 0,2 cm dan tebal huruf 0,2 mm.
f)        Nilai grid ( absis dan ordinat ) yang dicantumkan hanya nilai grid pada permukaan peta, sehingga pojok-pojok bidang gambar tidak perlu diberi nilai grid.
2)    Muka peta
a)       Di tepi kiri dibuatkan tanda grid setiap selang 10 cm berupa garis lurus dari kiri ke kanan dengan tebal 0,1 mm dan panjang 0,3 cm.
b)      Di tepi bawah dibuatkan tanda grid setiap selang 10 cm berupa garis lurus dari kiri ke kanan dengan tebal 0,1 mm dan panjang 0,3 cm.
c)       Didalam muka peta dengan selang 10 cm dibuatkan tanda grid berbentuk silang dengan tebal 0,1 mm dan ukuran silang 1 cm x 1 cm.
d)      Detil-detil ( Titik Dasar Teknik, sungai, jalan, jembatan, batas administrasi, bangunan ) digambar dengan tebal garis 0,2 mm.

3)    Kotak keterangan
a)       Kotak judul dan skala;
(1) Judul yaitu “ PETA DASAR TEKNIK ” ditulis dengan tinggi huruf 1,0 cm   dan tebal huruf 1,0 mmditulis pada bagian atas.
(2) Pada bagian tengah digambar arah utara.
(3) Dibawah arah utara ditulis skala numeris peta dengan tinggi huruf 0,3 cm dan tebal huruf 0,3 mm.
(4) Dibawah skala numeris, digambar skala grafis dengan interval 1 cm sepanjang 5 cm.
b)      Kotak lokasi;
(1) Baris pertama ditulis kecamatan dengan tinggi huruf 0,5 cm dengan tebal   huruf 0,5 mm.
(2) Baris kedua ditulis nama dusun dan desa/kelurahan dengan tinggi huruf 0,5 cm dan tebal huruf 0,5 mm.
c)       Kotak penunjuk lembar peta;
(1) Pada bagian atas ditulis judul kotak yaitu “ PETUJUK LEMBAR PETA “dengan tinggi huruf 0,5 cm dan tebal huruf 0,5 mm.
(2) Pada bagian tengah ditulis diagram lembar peta dengan ukuran 4,5 cm x 4,5 cm yang terdiri dari 9 bujur sangkar yang masing-masing berukuran 1,5 cm x 1,5 cm dengan tebal garis 0,2 mm.
(3) Bujur sangkar yang terletak ditengah menunjukkan lembar peta dasar pendaftaran bersangkutan diarsir dengan interval 0,2 mm.
(4) Bujur sangkar tersebut diberi nomor lembar peta topografi secara keseluruhan, ditulis pada baris pertama dengan tinggi huruf 0,2 cm dan tebal huruf 0,2 mm.


d)      Kotak legenda
(1) Pada bagian atas ditulis judul kotak yaitu “ LEGENDA “ dengan tinggi huruf 0,5 cm dan tebal huruf 0,5 mm.
(2) Selanjutnya diisi simbol-simbol kartografi sesuai PMNA/KBPN No.3/1997 dengan tinggi huruf 0,2 cm dan tebal huruf 0,2 mm.
e)       Kotak instansi pembuat, pada kotak ini digambar logo BPN dan dibawahnya ditulis: Badan Pertanahan Nasional dengan tinggi huruf 0,6 cm dan tebal huruf 0,6 mm.
f)        Kotak pengesahan
Pada bagian atas ditulis tempat dan tanggal pengesahan dengan tingg huruf 0,3 cm dan tebal huruf 0,3 mm.
Dibawah tempat dan tanggal pengesahan ditulis:
                                    Untuk penggunaannya,
                                    Kepala Kantor Pertanahan
                                    Kabupaten……………….


                                    …………………………..
                                    NIP………………………

g)       Kotak identifikasi pembuat
Kotak untuk menuliskan Nama Program Studi sebagai berikut:
     SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
        PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN
              TAHUN AKADEMIK 200…/ 200…





B.     Pemetaan Situasi Topografi

Peta situasi topografi menyajikan segala kenampakan yang terdapat pada permukaan bumi, beserta topografi tanahnya yang digambarkan dengan garis – garis kontur. Setiap pemetaan akan mempunyai tujuan, sehingga kenampakan diekstraksi menjadi lebih sederhana ( terkompilasi ) untuk menjaga agar peta tetap informatif.
Tahapan pemetaan :
1.  Siapkan format Peta Dasar Teknik dalam skala 1 : 2.500
2.  Plotkan titik – titik kontrol ( TDT ) sesuai PMNA / KBPN No. 3 / 1997. Dibawah nama TDT diberi garis dan dibawah garis diberi angka tinggi ( 3 desimal ).
      Contoh : STPN – 055
                        254.789
3.  Plotkan detil – detil yang diukur, dan berilah angka tingginya ( 2 desimal ).
      Contoh : 267.45
     Pada angka tersebut tanda koma ( , ) angka tinggi ditempatkan pada titik
      pengeplotan.
4. Tarik garis yang menghubungkan titik – titik tersebut, sehingga terganbar bentuk detilnya. Detil memanjang seperti jalan / sungai / saluran akan tergambar dengan jelas beserta namanya ( jika ada ). Demikian juga detil meluas ( area ), seperti permukiman, lahan pertanian, kuburan, lapangan bola, area kuliner / wisata akan tergambar sesuai dengan bentuk area di lapangan. Beri nama area – area dengan nama wilayah administrasinya. Contoh : Dusun Jetisan.
5.   Plotkan detil – detil ketinggian yang lain ( hasil pengukuran griding ).
6.   Tarik garis konturnya dengan interval 1,25 m.
7.   Pada detil – detil yang dipetakan beri simbol – simbol sebagai berikut,
     







Gambar 21. Simbolisasi Peta Topografi











C.     Buku Tugu

1.     Pembuatan Buku Tugu

a.       Buku tugu terdiri dari deskripsi, sketsa lokasi, daftar koordinat dan foto titik dasar teknik yang dibuat pada DI 100, 100A, 100B, 100C untuk titik dasar teknik orde 2, DI 101, 101A, 101B, 101C untuk titik dasar teknik orde 3 dan DI 102, 102A untuk titik dasar teknik orde 4.
b.      Buku Tugu dibuat dalam rangkap 3 (tiga) untuk titik dasar teknik orde 2,3 dimana dan disimpan masing-masing 1 (satu) rangkap oleh Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan dan dibuat dalam rangkap 1 (satu) untuk titik dasar teknik orde 4 serta disimpan oleh Kantor Pertanahan.
c.       Untuk memudahkan pendokumentasian dan pencarian buku tugu, buku tugu dikumpulkan setiap 50 (lima puluh) titik dasar teknik dan dijilid dengan sistem lepas untuk setiap daerah administrasi tingkat II dimana cover (halaman depan) lebih tebal dari lembaran buku tugu dan pada halaman depan kumpulan buku tugu ini dicantumkan rekapitulasi titik dasar teknik pada kumpulan buku tersebut dalam bentuk tabel, yang memuat antara lain ; nomor titik dasar teknik, Timur (X), Utara (Y), Lintang (L), Bujur (B) dan zone TM-3.
d.      Bila dikemudian hari, daerah administrasi (Propinsi atau Kabupaten / Kodya) titik dasar teknik berubah (mengalami pemekaran), buku tugu yang tersimpan di Kantor Wilayah dan atau Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya daerah administrasi lama diserahkan kepada Kantor Wilayah dan atau Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya daerah administrasi baru dengan suatu Berita Acara Serah Terima.
e.       Dengan diserahkannya buku tugu tersebut, pemeliharaan dan perawatan titik dasar teknik (pasal 11 ) menjadi tanggung jawab Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya daerah administrasi yang baru.
f.        Segera setelah menerima penyerahan buku tugu, Kantor Pertanahan dan atau Kantor Wilayah penerima diharuskan memperbaharui data yang terdapat pada buku tugu, yaitu : Propinsi, Kabupaten / Kodya, Kecamatan, Desa dan nomor titik. Data tersebut cukup dicoret dengan tinta hitam dan dituliskan data baru sesuai dengan kondisi setelah terjadi perubahan daerah administrasi dan nomor titik dasar teknik disesuaikan dengan kode administrasi dan nomor urut baru.

2.     Format Buku Tugu
Dalam hal ini kelompok 4 akan menjelaskan Buku Tugu untuk Titik Dasar Teknik Orde 3 dan 4 saja, sesuai dengan pembebanan tugas pada kelopok 4.

a. DI 102
DI 102 (lampiran 34)  terdiri dari 10  (sepuluh) uraian. DI 102 diisi dengan :

01.  DESA/KEL          
Kata DESA dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kelurahan, dan kata KELURAHAN dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Desa. Penulisan nama Desa / Kelurahan dalam huruf besar.
Contoh :
01. DESA/KEL   : CEMPAKA BARU atau
01. DESA/KEL   : TELAGA ASIH

02. KECAMATAN    
Ditulis dengan nama Kecamatan dimana titik dasar teknik tersebut berada dengan huruf besar.
Contoh :
02. KECAMATAN  : KEMAYORAN


03. KAB/KOD          
Kata KAB dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kodya, dan kata KOD dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kabupaten. Penulisan nama Kabupaten / Kodya dalam huruf besar.
Contoh :
03. KAB/KOD : JAKARTA PUSAT atau
03. KAB/KOD : BEKASI

04.  PROPINSI   
Ditulis dengan nama Propinsi dimana titik dasar teknik tersebut berada dengan huruf  besar.
Contoh :
04. PROPINSI  : DKI JAKARTA

05. SKETSA DETAIL LOKASI TITIK 
Ditulis dengan peta detail (tidak dalam skala) lokasi titik dasar teknik, arah Utara dan hubungannya dengan letak relatif titik tersebut dengan objek-objek yang ada sekitarnya serta sesuai dengan uraian kenampakan yang menonjol (butir 06) pada DI 100 atau DI 101. 

06.  FOTO TITIK DASAR TEKNIK
Dilengkapi dengan foto keberadaan titik dasar teknik yang diambil dari salah satu arah mata angin dengan latar belakang yang sedapat mungkin dapat menggambarkan lokasi titik tersebut di lapangan.

07.  DIBUAT OLEH
Ditulis dengan pelaksana yang melakukan pemasangan titik dasar teknik tersebut. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan, cukup dicantumkan kata-kata DIREKTORAT PENGUKURAN DAN PEMETAAN. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kanwil BPN , cukup dicantumkan kata-kata KANWIL BPN PROPINSI .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kantor Pertanahan, cukup dicantumkan kata-kata KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN .........atau KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh pihak ketiga, dicantumkan bentuk badan hukum dan nama badan hukumnya.
Contoh :
07. DIBUAT OLEH : PT.ABADI MUJUR

08. TGL. PEMASANGAN
Dilengkapi dengan tanggal pemasangan titik dasar teknik, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun. Contoh :
08. TGL. PEMASANGAN : 2-2-1997

09. DIPERIKSA OLEH
Ditulis dengan nama yang telah melaksanakan pemeriksaan tentang keberadaan titik dasar teknik tersebut di lapangan dan merupakan pegawai di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.
Contoh :
09. DIPERIKSA OLEH  :  Ir.Asman
10. TGL PEMERIKSAAN 
Ditulis dengan tanggal pemeriksaan titik dasar teknik yang dilakukan oleh petugas pemeriksa, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.
Contoh :
10. TGL PEMERIKSAAN  : 12-3-1997

b. DI 102 A

DI 102 A (lampiran 35) terdiri dari 20  (dua puluh) uraian. DI 102 A diisi dengan :

01. ALAT YANG DIGUNAKAN
Ditulis dengan merk, type dan jenis alat yang dipakai pada saat pengukuran titik dasar teknik.
Contoh :
 01. ALAT YANG DIGUNAKAN : WILD – T2

02. NOMOR SERI ALAT
Ditulis dengan nomor seri alat dipakai pada saat pengukuran titik dasar teknik.
Contoh :
NOMOR SERI ALAT : 4119

03. METODE PENGAMATAN 
Ditulis dengan metode yang dipakai  pada saat pengukuran titik dasar teknik.
Contoh :
 03. METODE PENGAMATAN  : POLIGON 

04. TGL PERHITUNGAN 
Ditulis dengan tanggal selesainya dilakukan perhitungan koordinat titik dasar teknik, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.
Contoh :
04. TGL PERHITUNGAN : 24-2-1997

06. TIMUR (X)
Ditulis dengan nilai absis (X) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat nasional. Bila nilai absis mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.
Contoh : 
  05. TIMUR (X) : 34.822,290 meter

07. UTARA (Y)
Ditulis dengan nilai ordinat (Y) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat nasional. Bila nilai ordinat mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.
Contoh : 
06. UTARA (Y) :  650.460,132 meter

08. ZONE
Ditulis dengan nomor zone TM-3° dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan Lampiran 5.
Contoh :
07. ZONE : 49.2

09. KONV.GRID
Ditulis dengan besarnya nilai konversi grid di titik dasar teknik yang bersangkutan dalam sistem koordinat nasional dan dinyatakan dalam derajat, menit dan detik dan apabila nilai nilai ini juga mencakup angka desimal, penulisan angka desimal cukup dilakukan sebanyak 5 (lima)  angka desimal dan bila nilai konversi grid tidak diketahui cukup dicantumkan -----.
Contoh :
01.            KONV.GRID : 0° 12’ 0,51340’’ atau
08. KONV.GRID : ----

10. FAKTOR SKALA
Ditulis dengan besarnya nilai faktor skala titik pada titik dasar teknik yang bersangkutan dalam sistem koordinat nasional, dan dinyatakan dalam 4 (empat)  angka desimal.
Contoh :
09. FAKTOR SKALA : 0.9999
11.  SKALA 1:10.000
Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada  peta skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6. 
Contoh :
10. SKALA 1:10.000 : 49.2-01.062

12.   SKALA 1:2.500
Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada  peta skala 1:2.500 dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6 .
Contoh :
11. SKALA 1:2.500 : 49.02-01.062-02

13.  SKALA 1:1.000
Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada  peta skala 1:1.000 dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6.
Contoh :
12. SKALA 1:1.000 : 49.2-01.062-02-7

14.   LINTANG 
Ditulis dengan nilai lintang (L) dari titik dasar teknik nasional dalam satuan derajat, menit dan detik dan ditambahkan huruf U bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada Lintang Utara, atau ditambahkan huruf S bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada Lintang Selatan. Bila nilai lintang mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 5 (lima) angka desimal.
Contoh : 
13. LINTANG : 7° 40’ 50,44654’’  U

15.  BUJUR
Ditulis dengan nilai bujur (B) dari titik dasar teknik nasional dalam satuan derajat, menit dan detik dan ditambahkan huruf T bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada Bujur Timur. Bila nilai bujur  mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 5 (lima) angka desimal.
Contoh : 
14. BUJUR : 111° 0’ 10,24547’’  T

16.  TINGGI ELLIPSOID
Ditulis dengan ketinggian titik dasar teknik di atas permukaan ellipsoid dan dinyatakan dalam satuan metrik. dan bila ketinggian titik dasar teknik diketahui di atas permukaan air laut rata-rata (MSL), nilai ketinggian ini harus ditambahkan. Bila nilai tinggi  mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 4 (empat) angka desimal.
Contoh :
15. TINGGI ELLIPSOID : 351,5843 meter atau
15. TINGGI ELLIPSOID : 351,5843 meter
TINGGI MSL         : 324,4325 meter

Uraian 5 s/d. 15 dilengkapi dengan ------ bila koordinat titik dasar teknik tersebut dinyatakan dalam sistem koordinat lokal.

17.  TIMUR (X)
Ditulis dengan nilai absis (X) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat lokal. Bila nilai absis mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.
Contoh : 
16. TIMUR  : 500.314,943 meter

18.  UTARA (Y)
Ditulis dengan nilai ordinat (Y) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat lokal. Bila nilai ordinat  mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.
Contoh : 
      17. UTARA  : 9.151.003,410 meter

Uraian 16 s/d. 17 dilengkapi dengan “------“ bila koordinat titik dasar teknik dinyatakan dalam sistem koordinat nasional.

19.  DIBUAT OLEH
        Ditulis dengan pelaksana yang melakukan pemasangan titik dasar teknik tersebut. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan, cukup dicantumkan kata-kata DIREKTORAT PENGUKURAN DAN PEMETAAN. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kanwil BPN , cukup dicantumkan kata-kata KANWIL BPN PROPINSI .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kantor Pertanahan, cukup dicantumkan kata-kata KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN .........atau KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh pihak ketiga, dicantumkan bentuk badan hukum dan nama badan hukumnya.
Contoh :
DIBUAT OLEH : PT.ABADI MUJUR

20.  DIPERIKSA OLEH
Ditulis dengan nama yang telah melaksanakan pemeriksaan tentang keberadaan titik dasar teknik tersebut di lapangan dan merupakan pegawai di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.
Contoh :
21. DIPERIKSA OLEH  :  Ir.Asman

21. TGL PEME`RIKSAAN 
Ditulis dengan tanggal pemeriksaan titik dasar teknik yang dilakukan oleh petugas pemeriksa, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.
Contoh :
22. TGL PEMERIKSAAN  : 12-3-1997

Pada kolom nomor titik yang terletak pada kanan atas DI 100, DI 101, DI 100 A, DI 101 A, DI 100 B, DI 101 B, D.I 100 C, DI 101 C, DI 102, D.I 102 A dicantumkan nomor titik, yang dituliskan secara utuh dan bersifat unik/tunggal.
Setelah hitungan memenuhi syarat, TDT diplot pada Peta Dasar Teknik. Pengeplotan dapat dilakukan secara manual-analog atau digital. Ketentuan yang harus dipenuhi dalam pembuatan Peta Dasar Teknik secara manual-analog sebagai berikut:
a.       Penggambaran menggunakan kertas crumcut;
b.      Penandaan grid menggunakan maal-grid tiap 10 cm dengan cara diprick;
c.       Skala yang digunakan 1: 2.500 atau 1 : 5.000 atau 1 : 10.000 ( menyesuaikan dengan luas area yang dipetakan, sehingga tercakup pada satu lembar peta );
d.      Simbol TDT orde 4 nasional lingkaran terblok hitam berdiameter 3 mm. Simbol TDT orde 4 lokal, lingkaran kosong berdiameter 3 mm. Simbol TDt orde 3: segitiga dengan panjang sisi 3 mm. Simbol grid, simbol-simbol detil alam dan buatan manusia, batas-batas administrasi seperti batas desa, kecamatan dan pripinsi digambar sesuai PMNA/KBPN No. 3/ 1997;
e.       Titik-titik Dasar Teknik digambar di atas kertas gambar lengkap dengan penomorannya. Deti-detil itu digambarkan dengan menggunakan tacken scaal dan stick-passer;
f.        Setelah peta Titik Dasar Teknik tergambar, selanjutnya gambar itu dipindahkan ke kertas drafting film lapisan dua muka;
g.       Secara rinci formta peta dapat dilihat pada Lampiran I.
Dalam penggambaran Peta Dasar Teknik yang dilengkapi dengan garis kontur, sangat dianjurkan menggunakan cara digital dengan software AutoCAD.

D.    Peta Topografi / kontur

Salah satu cara untuk membuat peta garis tinggi (peta kontur) yaitu dengan cara menarik garis yang mempunyai ketinggian yang sama dari data penyebaran titik-titik ketinggian pada suatu daerah. Penyebaran titi-titik ketinggian tersebut diukur secara terestrial dengan mengikatkan salah satu titik ketinggian tertentu dan titik ketinggian tersebut dihitung dari ketinggian di atas permukaan laut. Titik ketinggian tertentu tersebut dapat  berupa  titik trianggulasi, titik dasar teknik (TDT), titik puncak bukit, titik pada garis pantai sebagai titik nol (0 m) atau titik tertentu yang mempunyai nilai ketinggian.  Dalam pelaksanaan pengukuran biasanya yang digunakan sebagai peta dasar untuk acuan ketinggian tempat adalah peta topografi atau peta rupa bumi. Karena kedua macam peta tersebut adalah peta yang lengkap yang memperlihatkan unsur-unsur alami dan unsur-unsur buatan manusia di atas permukaan bumi termasuk titik-titik ketinggian dan juga kontur-kontur dengan memperhitungkan skala peta yang digunakan.                                        
 Peta kontur adalah merupakan peta yang menggambarkan bentuk-bentuk medan/relief  dari suatu wilayah yang digambarkan dengan garis yang mempunyai ketinggian yang sama (kontur). Karena kontur merupakan garis yang menghubungkan titik-titik dipermukaan bumi yang mempunyai ketinggian yang sama, maka antara garis kontur yang satu dengan kontur yang lain tidak akan saling berpotongan.
 Dalam pembuatan peta kontur dapat dari data hasil pengukuran secara terestrial seperti dikemukakan di atas, tetapi juga dapat dilakukan dari hasil fotogrametris. Sebagai data dari praktikum acara ini adalah berupa penyebaran dari titik-titik ketinggian hasil pengukuran secara terestrial dan pola aliran sungai yang ada di wilayah tersebut. Sedang titik ketinggian sendiri adalah titik ketinggian dipermukaan bumi yang dihitung berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut. Sedangkan harga nol (awal) ketinggian permukaan laut dihitung atau dimulai dari titik atau garis rata-rata antara pasang tertinggi dan surut terendah permukaan air laut pada  pantai setempat. Banyak cara untuk menentukan titik ketinggian suatu tempat  antara lain dengan alat altimeter, GPS, mengukur langsung dengan alat theodolit dari titik nol dipantai atau  menggunakan data yang sudah ada titik-titk ketinggiannya yaitu peta topografi atau peta rupa bumi.  Titik ketinggian tempat yang ada pada peta ini berupa titik trianggulasi, puncak bukit atau puncak gunung,  titik ketinggian tempat tertentu yang dianggap penting dan juga menggambarkan garis kontur. Dari titik ketinggian yang ada tersebut, dapat  digunakan sebagai titik ikat awal dari pengukuran yang dilaksanakan.
Disamping mengukur penyebaran titik-titik ketinggian  tersebut, untuk membantu penarikan kontur perlu juga diukur atau dipetakan unsur-unsur alam (geografi) yang lain seperti pola aliran sungai, jalan, rawa dan lain-lain. Dari peta penyebaran titik-titik kontur dan unsur-unsur alam terutama pola aliran sungai disuatu wilayah sangat membantu arah penarikan kontur, karena bentuk relief atau bentuk medan ada kaitannya dengan pola aliran yang ada, dan terjadinya bentuk-bentuk relief atau bentuk medan yang ada  salah satunya karena adanya kikisan air.
Dalam penarikan antara kontur yang satu dengan kontur yang lain didasarkan pada besarnya perbedaan ketinggian antara ke dua buah kontur yang berdekatan dan perbedaan ketinggian tersebut disebut dengan „interval kontur“ (contour interval). Untuk menentukan besarnya interval kontur tersebut ada rumus umum yang digunakan yaitu :

Interval Kontur  =  1/2000 x  penyebut skala (dalam meter).

Contoh :   Peta kontur yang dikehendaki skalanya   1  :  5.000,   berarti interval
                 konturnya  :  1/2000  x  5.000 (m)  =  2,5 m.
Dengan demikian kontur yang dibuat antara kontur yang satu dengan  kontur yang lain yang berdekatan selisihnya 2,5 m. Sedangkan untuk menentukan besaran angka kontur  disesuaikan dengan ketinggian yang ada dan diambil angka yang utuh atau bulat, misalnya angka puluhan atau ratusan tergantung dari besarnya interval kontur yang dikehendaki. Misalnya interval kontur 2,5 m atau 5 m atau 25 m dan penyebaran titik ketinggian yang ada 74,35 sampai dengan 253,62 m, maka besarnya angka kontur untuk interval kontur 2,5 m maka besarnya garis kontur yang dibuat adalah :  75 m, 77,50 m, 80 m, 82,5 m, 85m, 87,5 m, 90 m dan seterusnya, sedangkan untuk interval konturnya 5 m, maka besarnya kontur yang dibuat adalah : 75 m, 80 m, 85 m, 90 m , 95 m, 100 m dan seterusnya, sedangkan untuk interval konturnya 25 m, maka besarnya kontur yang dibuat adalah : 75 m, 100 m, 125 m, 150 m, 175 m, 200 m dan seterusnya.
Cara penarikan kontur dilakukan dengan cara perkiraan (interpolasi) antara besarnya nilai titik-titik ketinggian yang ada dengan besarnya nilai kontur yang ditarik, artinya antara dua titik ketinggian dapat dilewati beberapa  kontur, tetapi dapat juga tidak ada kontur yang melewati dua titik ketinggian atau lebih. Jadi semakin besar perbedaan angka ketinggian antara dua buah titik ketinggian tersebut,  maka semakin banyak dan rapat kontur yang melalui kedua titik tersebut, yang berarti  daerah tersebut lerengnya terjal, sebaliknya semakin kecil perbedaan angka ketinggian antara dua buah titik ketinggian tersebut, maka semakin sedikit dan jarang kontur yang ada, berarti daerah tersebut lerengnya landai atau datar. Dengan demikian, dari peta kontur tersebut, kita dapat membaca  bentuk medan (relief) dari daerah yang digambarkan dari kontur tersebut, apakah daerah tersebut  berlereng terjal (berbukit, bergunung), bergelombang, landai atau datar.   

E.     Teori Kesalahan

Pengukuran adalah pengamatan terhadap suatu besaran yang dilakukan dengan menggunakan peralatan dalam suatu lokasi dengan beberapa keterbatasan tertentu. Pengukuran-pengukuran kita tidak lepas dari kesalahan-kesalahan pengamatan. Kesalahan dalam pengamatan dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu:

1.     Kesalahan kasar (Mistake/ Blunders)
2.     Kesalahan sistematik (Sistematic Error)
3.     Kesalahan Random / Tak terduga (Occidental Error)
Sumber kesalahan antara lain:
1.   Dari Si pengukur
2.   Dari alat ukur yang digunakan
3.   Dari Alam

Penjelasan secara rinci akan dijabarkan sebagai berikut:
1.     Kesalahan Kasar
Terjadi karena kurang hati-hati (sembrono), kurang pengalaman, kurang perhatian. Dalam pengukuran, kesalahan ini tidak boleh terjadi sehingga diajurkan untuk mengadakan self checking dari pengamatan yang dilakukan. Apabila diketahui ada kesalahan kasar, maka dianjurkan untuk mengulang seluruh / sebagian pengukuran tersebut.
2.     Kesalahan Sistematik
Umumnya kesalahan sistematik disebabkan oleh alat-alat ukur sendiri. Kesalahan ini  juga dapat terjadi karena cara-cara pengukuran yang tidak benar. Jadi sifat kesalahan ini jelas dan akibat kesalahan ini dapat dihilangkan. Antara lain dengan cara:
a.       Sebelum digunakan pengukuran, alat dikalibrasi lebih dahulu.
b.      Dengan cara-cara pengukuran tertentu, misalnya pengamatan biasa dan luar biasa.
c.       Dengan memberikan koreksi pada data ukuran yang didapat.
d.      Koreksi pada pengolahan data.
3.     Kesalahan Random
Kesalahan random terjadi karena hal-hal yang tak terduga sebelumnya, seperti adanya getaran udara / undulasi, kondisi tanah tempat berdiri alat ukur yang tidak stabil, pengaruh kecepatan angin / kondisi atmosfer, dan kondisi psikis pengamat.
Kesalahan ini dapat dikoreksi dengan metode hitung perataan (adjustment).  Koreksi yang diberikan memperhatikan toleransi kesalahan / ketelitian. Berbicara tentang ketelitian, ada dua pengertian / istilah yang hampir sama artinya yaitu : akurasi dan presisi. Akurasi adalah tingkat kedekatan dari nilai-nilai ukuran terhadap nilai sebenarnya. Presisi adalah tingkat kedekatan dari nilai-nilai ukuran tersebut satu sama lain.


F.      Proyeksi Peta

1. Proyeksi TM 30

a. Merupakan sistem proyeksi Transverse Mercator ( TM ) dengan lebar setiap zone  3o.
b. Proyeksi TM adalah proyeksi silinder transversal yang mempunyai sifat konform (proyeksi yang menghasilkan sudut/bentuk yang sama).
c. Secara Geometris silindernya menyinggung (tangent) bola bumi pada sebuah meredian yang disebut meredian sentral.
d. Semakin jauh dari meredian sentral  perbesaran pada arah meredian makin besar.
e. Semakin mendekati ekuator perbesaran lingkaran paralel makin besar.
f. Dibuat zone Рzone sempit agar distorsi kecil dengan lebar 30 , setiap zone memiliki meredian tengan sendiri ̬ Sistim Proyeksi TM Р30.

2. Proyeksi                                                : Transverse Mercator dengan lebar zone 30.
Sumbu I (Y)                                        :  Meredian Sentral dari setiap zone.
Sumbu II (X)                                       : Ekuator.
Satuan                                                 : Meter.
Absis Semu (T)                                    : 200.000 + X
Ordinat Semu (U)                                : 1.500.000 + Y
Faktor Skala Pada Meredian Sentral    : 0,9999
Penomoran Zone                                 :  Dimulai Zone 46.2  s/d  54.1
Batas Lintang                                       :  Lintang 60 U dan lintang 110 S
Ellipsoid Referensi yang digunakan       : WGS 1984.




3. Lebar Zona TM 3

Proyeksi TM menunjukkan distorsi jarak yang makin membesar ke arah timur maupun kearah barat meredian sentral, agar dapat diminimalkan distorsi tersebut maka lebar wilayah dibatasi, 1,50 kearah barat dan 1,50 ke arah timur meredian sentral.
Wilayah cakupan selebar 30 disebut Zone.
Wilayah Indonesia tercakup dalam 16 Zone.
Tata Letak dan Penomoran Zone untuk wilayah Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 22.  Pembagian Zona di wilayah Indonesia













4. Pembagian Nomor Lembar Peta


Gambar 23.  Penomoran Lembar Peta sesuai skala

G.    Manajemen Proyek

Siklus manajemen proyek terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan proyek adalah usaha untuk mencapai tujuan dengan segala macam metode yang sedetail mungkin diformulasikan sebelumnya tentang apa yang akan dicapai, berapa, bilamana dan oleh siapa.
Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara obyektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan sebelumnya. Hasil-hasil evaluasi dimaksudkan menjadi umpan balik untuk perencasnaan kembali. Evaluasi mempunyai kaitan timbal balik yang erat dengan perencanaan.
Evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan tahap-tahap didalam siklus pengolahan proyek yang secara umum dapat dibagi tiga kategori, yaitu: evaluasi pada tahap perencanaan, evaluasi pada tahap pelaksanaan, dan evaluasi pada tahap purna pelaksanaan.
Setelah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dilaksanakan, maka tindakan selanjutnya adalah pelaporan. Pelaporan ini penting dan merupakan bagian dari siklus manajemen. Karena dalam laporan terdapat segala sesuatu atau gambaran lengkap tentang rencana proyek yang telah dilaksanakan hingga saat dilaksanakannya evaluasi. Laporan ini secara terperinci menginformasikan status proyek. Pelaporan ini diberikan kepada pihak-pihak yang memerlukan sebagai bahan informasi penting baik untuk bahan pelayanan maupun untuk direplikasi dalam keadaan yang hampir sama kondisinya.


















BAB III PELAKSANAAN

A.     Penjadualan Ulang


Jadual yang ada berdasarkan buku panduan PKL kurang terperinci dan sulit ditaati. Hal itu disebabkan tim IV dan 3 tim lainnya mendapat kepercayaan penambahan volume pekerjaan disamping terdapat hari raya Idul Adha dalam pelaksanaan PKL. Maka dibuatlah jadwal baru yang lebih rinci dan memperhatikan waktu libur lebaran. Jadual baru masih menggunakan rentang waktu yang sama dengan jadual dalam buku panduan PKL. Jadual baru juga masih memenuhi volume pekerjaan yang ditugaskan, termasuk pelaporan masih sesuai pedoman dan pelaksanaan teknis yakni kurang dari 2 minggu sejak penarikan dari lokasi PKL. 
Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa ada beberapa hal yang menjadi prioritas dari pelaksanaan pekerjaan dan waktu yang tersedia. Prioritas dua hari pertama merupakan pekerjaan survey lokasi, perencanaan, dan pemasangan Titik Dasar Teknik dan Titik Poligon pada daerah kerja. Prioritas hari ke-3 dan ke-4 adalah pengukuran TDT dan waterpass serta penghitungan poligon pada jalur Poligon Utama. Priorotas hari ke-5 s.d. ke-7 adalah pengukuran TDT dan waterpass termasuk penghitungan koordinat Poligon Cabang I. Prioritas pada hari ke-8 adalah pengukuran Poligon Cabang II beserta penghitungan koordinatnya. Prioritas hari ke-9 adalah pengambilan detail untuk mendukung penggambaran kontur. Sementara itu, pada hari terakhir adalah packing peralatan Tim beserta pemberangkatan ke kampus STPN. Untuk memahami gambaran prioritas tersebut dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini beserta rincian kegiatannya..




Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan PKL TDT.


B.     Realisasi Kegiatan
Tanggal          - kegiatan
23-11-2009   - ambil alat
                             - pemberangkatan dan serah terima dengan perangkat desa
                            - pembagian camp
                            - pembagian wilayah kerja
                            - oreantasi lapang dan perencanaan titik poligon utama
24-11-2009   - oreantasi lapang poligon cabang
                      - pemasangan TDT (3 tugu)
                      - pengukuran poligon utama
                      - entri data
25-11-2009   - pengukuran poligon utama
                      - pengukuran waterpass poligon utama
                      - persiapan pengukuran titik ikat GPS
                      - pemasangan TDT (tambahan 2 tugu = 5 tugu)
                      - entri data
                      - penyuluhan
                      - pengamatan GPS titik A dan D
26-11-2009   - pengukuran waterpass poligon utama
                      - perencanaan dan penempatan titik poligon cabang II
                      - penghitungan poligon utama dan waterpass
                      - pengamatan GPS
27-11-2009   - LIBUR
28-11-2009   - pemasangan TDT (tambahan 1 tugu = 6 tugu)
                      - pengukuran poligon cabang
29-11-2009   - cek ulang poligon utama
                      - waterpass poligon cabang
                      - pemasangan TDT (tambahan 1 tugu = 7 tugu)
                      - penghitungan waterpass poligon utama
30-11-2009   - pemasangan TDT (tambahan 1 tugu = 8 tugu)
                      - waterpass cabang II
                      - penghitungan waterpass poligon cabang II
                      - pengukuran poligon cabang II
                      - penghitungan poligon cabang II

1-12-2009     - pengukuran kontur
                      - survey ulang sungai melalui jalur irigasi teknis
2-12-20009   - pengecatan dan penomoran TDT
                      - pemotretan TDT
                            - pembuatan sket TDT

C.     Rincian Kegiatan
1.     Senin, 23 November 2009
Setelah penerimaan mahasiswa peserta PKL di balai desa, diadakan pembagian ulang basecamp. Basecamp tim IV berada di rumah bapak Riwayat dusun Purworejo, bersama tim V dan XIV (putri). Sesampainya di basecamp ketiga tim beramah tamah dengan pemilik rumah dan dipersilahkan tim putri tinggal di rumah induk dan tim putra di rumah sebelahnya. Kegiatan selanjutnya cek kelengkapan alat, berbenah dan makan siang.
Usai makan siang perwakilan tim menuju camp instruktur yang tidak jauh dari basecamp kami untuk menerima hasil pembagian wilayah kerja dari instruktur. Pembagian wilayah kerja tim IV adalah di dusun Sawungsari areal permukiman dan pertanian yang dibatasi oleh jalan desa di sebelah Utara dan Timur, sebelah Selatan alur/ parit dan sebelah Barat dibatasi sungai. Wilayah kerja tim IV diapit oleh 5 tim lain yaitu seberang jalan sebelah Utara menjadi wilayah kerja tim XIII, seberang jalan sebelah Timur menjadi batas wilayah kerja tim XII dan tim XIV, seberang parit sebelah Selatan menjadi wilayah kerja tim I dan seberang sungai sebelah Barat menjadi wilayah kerja tim X.
Selain itu tim IV mendapat kepercayaan mengukur poligon utama dan titik ikat GPS bersama 3 tim lainnya yaitu tim I dan tim VI mengukur poligon utama dari titik D yang berlokasi di perempatan masjid Sawungsari menuju titik A di simpang tiga pasar Purworejo (TDT BPN-STPN 028). Sedangkan titik ikat yang diukur menggunakan GPS geodesi adalah titik A dan D.
Siang itu juga tim IV melakukan survey lapang dan perencanaan jalur poligon utama serta penempatan TDT dimulai dari titik A (TDT BPN-STPN 028) di km 20.4 jalan Kaliurang ke Selatan menuju titik D di simpang masjid. Diperoleh 8 TDT yang sudah terpasang yaitu TDT nomor BPN-STPN 028, BPN-STPN 027, BPN-STPN 026, BPN-STPN 025, BPN-STPN 024, BPN 51, BPN-STPN 023 dan BPN-STPN 022 berada di jalan Kaliurang sampai simpang empat Km.19.5 berbelok kearah Barat. Sepanjang jalan desa menuju mesjid diperoleh  TDT 4, dua diantaranya diketahui nomornya yaitu TDT BPN-STPN 021 dan BPN 001, sisanya tanpa nomor. Jadi jumlah TDT yang ditemukan sebanyak  12 TDT.
Dari 12 tugu yang ada diantaranya dalam keadaan tertimbun tanah, miring bahkan condong. Tugu BPN-STPN 025 tertimbun tanah pembuatan parit, BPN-STPN 024 tertimbun material bangunan dan diperkirakan berada di pintu masuk apabila daerah tersebut dibangun kelak dengan fakta saat ini dilalui truk pengangkut material –terlihat bekas ban truk dan berada di depan parit yang ditimbun sementara untuk menaruh material bangunan. BPN-STPN 021 dan TDT di perempatan dalam kondisi miring. Sedangkan BPN-STPN 023 dalam kondisi condong sehingga perlu ditegakkan kembali. Selain 12 tugu tersebut ditemukan 2 buah tugu yang tak bernomor dan tercabut, tergeletak di seberang parit dekat BPN 001 dan di dekat TDT perempatan masjid.
Dalam jalur poligon utama D-A, tim IV tidak menambah pemasangan TDT, hanya menambahkan beberapa titik bantu menggunakan patok kayu berpaku payung. Titik Bantu dipasang antara BPN-STPN 021, BPN 001, TDT sesudahnya dan TDT perempatan masjid (titik D) karena antar TDT tidak saling terlihat dan atau ada simpang jalan yang sekiranya dapat membantu tim lain dalam pembuatan poligon cabang.
Selanjutnya TDT dan titik bantu tersebut secara berurutan dari titik D menuju titik A diberi notasi sebagai berikut D, B1, TDT B2, B3, TDT 001 B4, B5, TDT 021 B6, TDT 022 B7, TDT 023 B8, TDT 51 B9, TDT 024 B10, TDT 023 B11, TDT 025 B11, TDT 026 B12, TDT 027 B13, TDT 028 A. Sehingga jumlah titik polygon utama adalah 15 ditambah 1 titik backsite (X) menjadi 16 titik.
Malam hari kedua perwakilan tim (Dhanang & Tulus) melakukan koordinasi dengan semua ketua kelompok di Sawungan membahas rencana pemasangan tugu TDT pada poligon utama dan rencana jalur poligon pada daerah yang berbatasan antar tim. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengeplotan rencana pemasangan TDT. Selain itu, dalam koordinasi membahas mengenai pendistribusian TDT dengan memprioritaskan pemasangan jalur poligon utama dan diikuti tim-tim lain yang bersebelahan. Sehingga, pendistribusian pemasangan TDT lebih optimal.

2.     Selasa, 24 November 2009
Survey lapang kedua dilakukan untuk membuat jalur poligon cabang di wilayah kerja tim IV yang menjadi tugas pokok tim IV selain poligon utama- yang diantara titiknya akan dipasang tugu TDT. Wilayah kerja tim IV dapat dikelompokkan menjadi 2 area yakni area pemukiman di sebelah Utara ± 400 m x  ± 100 m dan area pertanian di sebelah Selatan ± 200 m x  ± 400 m. Diketahui bahwa batas Utara dan Timur sudah dilalui poligon utama D-C yang diukur oleh tim I. Terdapat 3 jalan, yaitu 2 jalan aspal dan 1 jalan diperkeras. Namun ketiga jalan tersebut merupakan jalan buntu. Salah satu jalan aspal menjadi pembatas area pemukiman dan area pertanian, sisanya berada di area pemukiman. Terdapat irigasi teknis di area pemukiman, di tepi sungai sampai jalan pemisah kedua area dan irigasi teknis tersebut bercabang di pertengahan membelah area pemukiman menuju Timur. Irigasi di area pertanian belum diturap. Terdapat masjid di areal pemukiman dan pemakaman di area pertanian. (lebih jelasnya, peta kerja terlampir)
Diputuskan membuat jalur poligon tertutup di areal pertanian dari poligon utama mengikuti jalan aspal melewati pemakaman menuju perkebunan markisa yang berupa jalan tanah kemudian dibelokkan menyeberang parit (batas Selatan) melewati kebun (wilayah kerja tim I) dan  kembali menyeberangi parit menyusuri jalan setapak menuju poligon utama di jalan aspal. Dari jalur tersebut diperoleh 13 titik poligon dengan notasi T4-1, T4-2, T4-3, T4-4, T4-5, T4-6, T4-7, T4-8, T4-9, T4-10, T4-11, T4-12, T4-13. T4-1 dan T4-13 adalah poligon  utama. Direncanakan dan dipasang 3 buah tugu TDT yakni T4-2, T4-4 dan T4-5.
Siang harinya pengukuran poligon utama dimulai dari titik D menuju titik A dengan backsight TDT poligon utama yang baru dipasang tim I. Pengukuran menggunakan Total Station dengan 3 statif, 2 prisma dan 1 rover. Pengambilan sudut dua seri sehingga diperoleh 4 sudut tiap titik dan 4 jarak. Dari titik poligon sekaligus diambil data detil dengan metode polar. Tinggi alat dan kedua prisma diukur, sedangkan tinggi rover dibuat 1.5 m untuk memudahkan menghitung ketinggian sekaligus kontrol terhadap pengukuran waterpass kelak.
Pembagian tugas pengukuran poligon utama sebagai berikut: Dhanang membaca alat, Bagus menulis, Heri dan Tulus centering + leveling prisma depan- belakang, Phamyo mobilisasi.
Hingga sore pengukuran poligon hanya sampai pada TDT 022 B7 dan akan dilanjutkan esok hari.
Malam hari, 2 perwakilan tim (Dhanang & Tulus) melakukan koordinasi di Sawungan membahas permasalahan yang dihadapi antar tim. Koordinasi tersebut membahas tentang evaluasi pendistribusian TDT. Hasil evaluasi ini mendapat kesimpulan bahwa TDT masih tersisa karena ada beberapa tempat yang tidak memungkinkan untuk dipasang TDT. Lokasi tersebut dapat dikarenakan tidak terpenuhinya aspek teknis. Sedangkan sisa anggota tim yang berada di basecamp (Bagus, Heri & Phamyo) melakukan entri data pada DI.103 digital (Excel).

3.     Rabu, 25 November 2009
Pengukuran poligon utama dilanjutkan dari TDT 022 B7 sampai TDT 027 B13 menembak TDT 028 A. Tepat istrihat makan siang pengukuran poligon utama D-A selesai dilakukan.
Selesai makan siang 2 perwakilan tim (Dhanang & Tulus) melakukan koordinasi di camp instruktur untuk perencanaan dan persiapan pengukuran titik ikat menggunakan GPS geodetic. Sisa anggota (Bagus, Heri & Phamyo) melakukan pengukuran waterpass dari titik D menuju titik A. Titik B1 dan TDT B2 sedang digunakan tim XVI untuk pengukuran poligon  cabang sehingga diloncati ke titik berikutnya.
Pembagian tugas pengukuran waterpass sebagai berikut: Bagus membaca dan mencatat, Heri dan Phamyo pegang bak ukur.
Setelah  pertemuan Dhanang & Tulus mengambil 3 tugu lagi untuk di distribusikan di T4-3 dan T4-6 serta manambah titik poligon diantara T4-4 dan T4-5, karena T4-5 digeser posisinya oleh tim X yang menggunakannya sebagai titik ikat. Jalur poligon berubah menjadi T4-1, T4-2, T4-3, T4-4, T4-5, T4-6, T4-7, T4-8, T4-9, T4-10, T4-11, T4-12, T4-13, T4-14 dengan rencana TDT di T4-2, T4-3, T4-4, T4-5, T4-6 dan T4-7 menjadi 6 TDT. TDT T4-5 belum terpasang.
Menjelang Ashar, Dhanang & Tulus bergabung dalam pengukuran waterpas. Pengukuran waterpass berhenti di TDT 028 A (pergi) Pembagian tugas pengukuran waterpass sebagai berikut: Bagus membaca, Phamyo mencatat, Dhanang dan Tulus memegang bak ukur, Heri mobilisasi.
Malam hari Heri dan Phamyo diberi tugas mengikuti penyuluhan. Namun karena salah persepsi Heri dan Phamyo mengikuti penyuluhan di dusun Jetis (lokasi pengukuran) bukan di dusun Purworejo (lokasi Base-camp). Dhanang dan Tulus mengikuti penyuluhan di dusun Purworejo menggantikan Heri dan Phamyo. Penyuluhan di dusun Jetis disampaikan oleh bapak Bambang Suyudi dan dusun Purworejo oleh bapak Eko Budi Wahyono.
Setelah penyuluhan  Heri & Phamyo bergabung dengan Bagus melakukan entri data. Dhanang & Tulus melakukan pengamatan GPS di titik A dan D hingga pagi namun belum selesai.

4.     Kamis, 26 November 2009
Dhanang & Tulus istirahat di basecamp setelah begadang melakukan pengamatan GPS semalam suntuk. Pengukuran waterpass (Bagus, Heri & Phamyo) dilanjutkan dari TDT 028 A sampai TDT B2 (pulang). Pembagian tugas pengukuran waterpass sebagai berikut: Bagus membaca dan mencatat, Heri dan Phamyo pegang bak ukur.
 Waterpass TDT B2 sampai titik D  dilanjutkan sore hari kemudian waterpass titik B1 – TDT B2 yang hari sebelumnya diloncati. (Bagus membaca dan menulis, Tulus dan Phamyo memegang bak ukur).
Sore hari Dhanang & Tulus melakukan pengamatan GPS lanjutan.
Heri, Dhanang dan Tulus pulang ke asrama mahasiswa Taruna Bhumi STPN untuk merayakan hari raya dan menjadi PHBI di masjid Dharunnajjah. Bagus dan Phamyo masih di basecamp.


5.     Jumat, 27 November 2009
Pagi hari Bagus dan Phamyo pulang ke asrama mahasiswa Taruna Bhumi STPN. Kesepakatan tim untuk libur kegiatan lapang di hari raya.

6.     Sabtu, 28 November 2009
Tulus dan Phamyo menanam tugu di TDT T4-5 pada poligon cabang I yang belum terpasang pada hari Kamis, 25-11-2009. Dilanjutkan pengukuran poligon cabang I dengan pembagian tugas sebagai berikut : Dhanang membaca alat, Bagus menulis, Heri dan Tulus centering + leveling prisma depan- belakang, Phamyo mobilisasi.
Hari ini kami makan di lapang untuk mempersingkat waktu karena diperkirakan akan hujan. Betul perkiraan kami, baru mengukur satu titik usai makan turun hujan yang lebat. Waktu itu kami berada di T4-7 dekat pemakaman. Kami berteduh di gubuk pemakaman sampai hujan reda menjelang sore. Namun untuk memenuhi target kami melanjutkan pengukuran hingga selesai di petang hari –menjelang maghrib.
Malamnya Bagus, Heri dan Phamyo melakukan entri data dan perhitungan poligon cabang I dengan metode poligon tertutup. Dhanang dan Tulus menghitung poligon utama dengan tim lain di basecamp tim I.

7.     Minggu, 29 November 2009
Bagus dan Phamyo Kebaktian. Dhanang, Tulus dan Heri melakukan pengukuran waterpass poligon cabang I. Pembagian tugas pengukuran waterpass sebagai berikut: Heri membaca dan mencatat, Dhanang dan Tulus memegang bak ukur. Menjelang siang Bagus dan Phamyo bergabung dan pembagian tugas berubah menjadi Heri membaca, Bagus mencatat, Dhanang, Tulus dan Phamyo memegang bak ukur serta mobilisasi. Pengukuran waterpass selesai siang hari dan kami pulang ke basecamp agak terlambat makan siang.
Siang hari hujan dan kami masih di basecamp.
Sorenya setelah hujan reda, Bagus, Heri dan Phamyo mengambil tugu TDT yang tercabut di jalur poligon utama D-A (lihat 23-11-2009 par.5) untuk didistribusikan di area pemukuman yakni poligon cabang II di T3 dan T6. Tugu baru terpasang di T6 dan rencananya akan dilanjutkan esok hari sebelum pengukuran.




8.     Senin, 30 November 2009
Sebelum makan pagi, Phamyo dan Heri mengecat tugu TDT di jalur poligon utama D-A, poligon cabang tim IV dan  jalur poligon utama D-C yang melalui wilayah kerja tim IV.  Dhanang, Bagus dan Tulus melakukan pengecekan poligon utama.
Selanjutnya setelah makan pagi, Heri, Phamyo, Tulus dan Bagus melakukan pengukuran waterpass dari titik A ke titik F ( yaitu pertengahan jalur poligon utama D-C) untuk pembuatan kring perhitungan waterpass poligon utama.
Berikutnya dilakukan pengukuran waterpass poligon cabang II dari T1 ke T6, T5, T4, T3, T2 pulang pergi. Karena TDT di T3 belum terpasang Tulus dan Heri menanam tugu di T3. sedangkan Bagus dan Phamyo melakukan pengukuran waterpass. Setelah selesai pemasangan tugu Heri dan Tulus bergabung dan  pembagian tugas pengukuran waterpass sebagai berikut: Tulus membaca, Bagus mencatat, Heri dan Phamyo memegang bak ukur. pengukuran waterpass poligon cabang II selesai siang hari. Kami makan siang di lapang sekaligus istirahat untuk penghitungan waterpass dengan kalkulator.
Selanjutnya pengukuran poligon cabang II dengan pembagian tugas Tulus dan Bagus bergantian membaca dan mencatat, Heri centering + leveling prisma dan Phamyo memegang rover untuk detil serta mobilisasi. Pengukuran selesai menjelang maghrib.
Malamnya dilakukan entri data, penghitungan poligon cabang II dan memasukkan hitungan waterpass ke digital.

9.     Selasa, 1 Desember 2009
Tulus, Phamyo, Bagus dan Heri melakukan pengukuran detil untuk kontur di area pertanian. Pengukuran ini menggunakan metode zislag dengan alat Total Station. Di buat 3 buah zislag yaitu (T4-9)- PB1, (T4-7)-PB2 dan (T4-4) – K9. Selain itu juga menggunakan T4-9 dan T4-7.
Pembagian tugas pengukuran detil adalah pemegang rover secara bergantian Heri, Phamyo dan Bagus, membaca dan mencatat secar bergantian Tulus, Phamyo dan Bagus.

10. Rabu, 2 Desember 2009
Tulus melakukan pengecetan nomor TDT, pemotretan dan pembuatan sket TDT. Siang hari pulang ke asrama mahasiswa Taruna Bhumi dan mengembalikan alat.

11. Tanggal 3 s.d. 14 Desember 2009
Pelaporan

Tabel 2. Tabel Jadwal Pelaporan







BAB IV PEMBAHASAN

A.     Umum
PKL Titik Dasar Teknik merupakan  bagian dari rangkaian kegiatan civitas akademika STPN dalam rangka melaksanakan tri dharma Perguruan Tinggi. Dalam PKL TDT semester III ini dirangkaikan dengan PKL Diploma I yaitu pemeliharaan TDT dan Diploma IV semester V yaitu PKL Pengukuran Bidang. Ketiga PKL tersebut dilakukan ditempat yang sama.
PKL Pemeliharaan TDT yang dilakukan oleh Diploma I kelas E, F, G dan H mestinya dilakukan sebelum PKL TDT semester III, namun baru dilakukan hari ketiga PKL TDT yakni hari Rabu, 25 November 2009. Sehingga identifikasi TDT yang semestinya dilakukan oleh Diploma I dalam PKL-nya telah dilakukan oleh peserta PKL TDT semester III. Dengan kata lain peserta PKL Diploma I tidak perlu mencari TDT yang akan dicat ulang atau diperbaiki tugunya. Padahal hal itulah proses yang penting dan menarik. Kegiatan PKL Pemeliharaan TDT dimungkinkan terjadi kesalahan melewatkan pencarian tugu yang tertutup rumput ataupun tanah dan mungkin menemukan tugu yang dalam kondisi miring bahkan condong. Pengalaman itu akan menjadi dasar bagi peserta PKL Pemeliharaan TDT Diploma I untuk merencanakan dan menempatkan TDT kelak di PKL akhir atau ketika bekerja dan masuk kembali ke STPN sebagai mahasiswa Diploma IV.
Dalam PKL Pemeliharaan TDT Diploma I, peserta dibekali dengan peta persebaran TDT tetapi tidak demikian bagi peserta PKL TDT semester III, apalagi buku tugu. Sedangkan pada lokasi dan jalur poligon utama sudah banyak terdapat TDT baik milik STPN maupun Kantor Pertanahan setempat. Adapun penjelasan instruktur adalah ketelitian dari pengukuran TDT tersebut yang rendah sehingga perlu diukur ulang. Inilah salah satu alasan keberanian tim IV untuk menegakkan TDT BPN-STPN 023 yang condong dan membiarkan TDT BPN-STPN 021 yang miring. (sayangnya kami tidak memiliki foto TDT BPN-STPN 023 yang condong).
Persebaran TDT dan titik-titik poligon PKL TDT semester III akan digunakan peserta PKL Pengukuran Bidang Tanah  semester V (tim bidang). Maka dari itu penempatan dan persebaran TDT serta titik-titik poligon memperhatikan kepentingan pengukuran bidang. Harapannya TDT dan titik poligon yang ada dapat digunakan dan mempermudah kerja tim bidang sehingga hasil akhir dari peta bidang dapat dimanfaatkan oleh Kantor Pertanahan setempat.

B.     Waktu
PKL ini dilaksanakan selama 10 hari, mulai tanggal 23 November sampai dengan tanggal 02 Desember 2009. Dengan jenis dan volume pekerjaan yang dibebankan bagi tiap kelompok, mestinya waktu 10 hari sudah cukup. Yang perlu diperhatikan adalah apakah waktu 10 hari adalah seluruhnya menjadi waktu efektif kerja. Pada kenyataannya hari pertama dan hari terakhir tidak efektif. Hal tersebut belum termasuk Hari Raya Idul Adha diantaranya. Sehingga total waktu efektif hanya 7 hari.
Waktu tersebut masih merupakan waktu yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaan, tetapi cuaca tidak mendukung. Kenyataan di lapangan rata – rata hujan turun tengah hari hingga sore hari. Dengan demikian, waktu 7 hari kerja tidaklah penuh.
Pengukuran poligon cabang dapat diselesaikan 2 s.d. 3 hari dan menjadi 4 s.d. 5 hari bila ditambahkan titik ketinggian (waterpass) serta kontur. Sedangkan pengukuran poligon utama beserta waterpassnya dapat diselesaikan 3 hari.

C.     Tempat
1.      Wilayah Kerja
Lokasi yang menjadi tempat PKL adalah Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Merupakan daerah lereng gunung merapi dengan topografi miring dan ketinggian lebih dari 500 m di atas ellipsoid. Untuk pengukuran TDT daerah ini dalam tingkat kesulitan  menurut tim IV-  kategori sedang. Pengukuran titik ketinggian TDT (waterpass) kategori cukup sulit dan pengukuran kontur kategori sulit.
Kesulitan pengukuran dan pembuatan peta kontur dialami pada areal pemukiman yang miring. Selain itu terdapat sungai yang sangat terjal mencapai beda tinggi 15 m antara lembah sungai dengan jangkauan poligon cabang. Perbedaan beda tinggi tersebut tidaklah merata seperti papan yang dimiringkan namun lebih mirip dengan terasering yang beda tinggi antar terasnya sampai 5 m.


2.      Basecamp
Basecamp tim IV berada di rumah bapak Rukiyat dusun Purworejo, bersama tim V dan XIV (putri). Tim putri tinggal di rumah induk dan tim putra di rumah sebelahnya.
Tim IV dan tim V terdiri dari 10 orang. Ruangan yang digunakan cukup lebar dan memiliki satu kamar kapasitas 5 orang dengan kasur, sisanya di ruang tengah dengan 2 tempat tidur. Memiliki 1 kamar mandi yang cukup nyaman. Dilengkapi 1 set sofa untuk istirahat dan 1 meja kerja yang cukup lebar serta beberapa kursi. Makanan yang disediakan relatif lebih baik.

D.    Peserta
Mahasiswa semester III Program Diploma IV Pertanahan sejumlah 80 orang terdiri dari 16 kelompok dan instruktur sejumlah 38 orang serta pendamping pelaksana sejumlah 37 orang. (daftar terlampir).
 Tim IV terdiri dari 5 anggota yaitu Agus Dhanang Purnomo (sebagai ketua), Antonius Bagus Budhi Pradhana, Heri Setiaji, Phamyo Frietz Elisa Sinaga dan Tulus Wasono Putro.
Agus Dhanang Purnomo adalah tamatan diploma I STPN tahun 2001 dan sekarang  mahasiswa Diploma IV STPN utusan Kanwil BPN RI propinsi Riau. CPNS sejak tahun 2002, bekerja di Kanwil bidang Penatagunaan Tanah selama 1 tahun kemudian ditugaskan di Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi sebagai staf subseksi pengukuran. Pernah mengikuti program ajudikasi di RALAS Nanggro Aceh Darussalam tahun 2006 s.d. 2007 dan mengikuti Program Ajudikasi Backlock tahun 2007 s.d. 2008.
Tulus Wasono Putro adalah tamatan diploma I STPN tahun 2000 dan sekarang  mahasiswa Diploma IV STPN utusan Kanwil BPN RI propinsi Sumatera Barat. CPNS sejak tahun 2004, di Kantor Pertanahan Kabupaten Sijunjung sebagai staf subseksi Pengukuran. Pernah mengikuti program ajudikasi di RALAS Nanggro Aceh Darussalam tahun 2006 s.d. 2007.
Heri Setiaji adalah tamatan diploma I STPN tahun 2002 dan sekarang  mahasiswa Diploma IV STPN utusan Kanwil BPN RI propinsi Riau. CPNS sejak tahun 2002, bekerja di Kanwil bidang P&PT selama 1 tahun kemudian ditugaskan di Kantor Pertanahan Kabupaten Rokan Hulu sebagai staf subseksi Pengukuran. Pernah mengikuti program ajudikasi di RALAS Nanggro Aceh Darussalam tahun 2006 s.d. 2007.
Antonius Bagus Budhi Pradhana adalah tamatan diploma I STPN tahun 2005 dan sekarang  mahasiswa Diploma IV STPN utusan Kanwil BPN RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. CPNS sejak tahun 2006 berdinas di Kantor Pertanahan Kabupaten Belitung sebagai staf subseksi Pengukuran.
Phamyo Frietz Elisa Sinaga adalah tamatan tahun 2004 dan sekarang  mahasiswa Diploma IV STPN utusan Kanwil BPN RI propinsi Sumatera Utara. CPNS sejak tahun 2006.
Pada dasarnya komposisi dari tim IV sudah cukup mewakili dari segi kemampuan maupun pengalaman dan nilai akademis. Berbeda dengan beberapa (tidak semua) tim lain yang terjadi pemusatan atau sebaliknya.

E.     Alat
Alat –alat ukur yang digunakan tim IV adalah sebagai berikut :
1.      Total Station Topcon GTS 2110 LG 3025
2.      Baterai dan charger TS Topcon.
3.      Prisma 2 buah, 1 buah Topcon dan 1 buah Leica.
4.      Prisma Rover I buah.
5.      Statif 3 buah.
6.      Jalon 1 buah.
7.      Waterpass Nikon.
8.      Rambu Ukur 5 meter 2 buah dengan dilengkapi 1 buah nivo kotak.
9.      Pita Ukur Baja 30 meter.
10.  Payung 3 buah.
11.  Palu 1 buah.
12.  Unting-unting.
13.  Paku payung.
14.  Meteran baja ukuran 5 meter.
15.  Cat dan kuas.

Pada pengecekan alat pada tanggal 20 November 2009 diketahui Total Station dengan satu prisma dalam keadaan baik dan waterpass yang kurang baik karena lensa yang sedikit berjamur dan penggerak halus tidak berfungsi.
Ketika pengambilan alat tanggal 23 November 2009 didapat prisma yang tidak sama yaitu merk Topcon dan Leica. Pada awalnya kami anggap sama dan tidak bermasalah. Namun setelah pengukuran dilakukan didapati perbedaan jarak kurang lebih 3 cm. Kemudian antar ketua tim berkoordinasi dan saling menukar prisma yang berlainan sehingga diperoleh prisma Topcon yang sama untuk tim IV.
Selain itu di lokasi baru diketahui bahwa 1 statif tidak memiliki baut pengunci. Untuk mengatasinya hari pertama mengukur, tanggal 24 November 2009, tim IV meminjam statif tim XIV (satu Basecamp) yang belum dipakai. Hari berikutnya tim IV meminjam statif tim XI.
Selanjutnya untuk pengukuran waterpass seksi kedua (poligon cabang) tim IV menggunakan Waterpass Nikon No.  AS-C 212393 pinjaman dari tim VI.

F.      Metode
1.      Perencanaan dan pemasangan TDT
Perencanan tugu dilakukan dengan dua cara. Pada poligon utama perencanaan dilakukan menggunakan peta desa. Pada jalur poligon utama D-A dapat diidentifikasi jalan dan persimpangannya. Mula-mula direncanakan persebaran TDT di atas peta kemudian disurvey di lapang. Apabila antar TDT tidak terlihat maka ditambahkan titik bantu poligon. Demikian juga apabila terdapat TDT yang terpisah, tidak memiliki pasangan maka ditambahkan TDT atau dipindahkan.
Penempatan TDT harus memperhatikan keamanan tugu dan memudahkan pengukuran serta keamanan alat dan pengukur. TDT berada di lokasi strategis. Mudah ditemukan, dapat mengamat berbagai detil. Aman dari kerusakan tugu seperti terlindas mobil, dipindahkan orang, tertutup bangun baru di kemudian hari ataupun  tempat yang tidak stabil. TDT tidak dipasang menempel tembok, di tepi parit ataupun lainnya yang menyulitkan pengukuran dan membahayakan keamanan alat. Apabila TDT dipasang di bahu jalan maka TDT ditanam rata dengan jalan agar tidak terganggu pengguan jalan dan kerusakan tugu. Sebaiknya TDT tersebut disemen agar tidak bergeser saat terlindas ban mobil. Kelemahannya TDT akan tertimbun apabila ada perbaikan jalan, perbaikan jalan biasanya menambah ketebalan/ ketinggian aspal. Sedangkan jalan yang belum diaspal atau diperkeras TDT itu sering tertimbun tanah dan sulit ditemukan. Jadi dalamnya penanaman TDT harus diperhatikan agar tidak hilang ataupun mudah tercabut.
Perencanaan TDT adalah bagian tersulit dari rangkaian kegiatan PKL ini. Kegiatan merencanakan penempatan dan persebaran TDT harus berhasil berarti menaksir dan memperkirakan perkembangan desa, kota, wilayah atau lokasi pengukuran TDT tersebut. Tak ubahnya seperti peramal.
Keberhasilan dari perencanaan TDT tidak hanya dinilai saat pengukuran saja. Terbukti sudah ada tugu yang miring terlindas mobil (tim XIV) setelah diukur, sebelum selesai PKL. Sedangkan penggunaan TDT bisa berpuluh tahun ke depan.

2.      Penomoran TDT
Penomoran TDT harus memperhatikan nomor TDT terakhir di desa tersebut. Nomor TDT terakhir dapat ditemukan di buku tugu atau peta dasar teknik. Nomor TDT sebaiknya diurutkan sesuai jalur atau berdasarkan kedekatan letak TDT.
Penomoran TDT tidak dilakukan oleh tim IV melainkan hasil koordinasi perwakilan (ketua) antar kelompok. Tim IV hanya memberi nomor pada tugu TDT sesuai daftar yang disepakati. Nomor TDT dicat menggunakan mal dengan posisi menghadap Utara. Nomor bertuliskan BPN-STPN dan dibawahnya 3 digit nomor terakhir TDT.

3.      Pemotretan TDT dan pembutan sketsa detail lokasi titik
Pemotretan TDT yang dilakukan tim IV adalah 4 arah mata angin meskipun kelak hanya digunakan satu foto untuk orde IV. Dalam pembuatan buku tugu dapat dipilih foto yang memiliki latar belakang yang sedapat mungkin menggambarkan lokasi titik tersebut. Dalam pemotretan nomor TDT harus terlihat. Kedudukan tugu terhadap tanah harus terlihat sehingga dapat diketahui apabila tugu telah dibongkar.
Sketsa detail lokasi TDT diperoleh dari hasil pengukuran poligon dan detail situasi.

4.      Pembuatan Buku Tugu
Pembuatan buku tugu menggunakan format digital. Perangkat lunak yang digunakan adalah Corel Draw 13. Sementara itu, proses transformasi koordinat dari koordinat TM-3° (X,Y) ke koordinat Geografis (Lintang dan Bujur) dengan Aplikasi Polygon. Berdasarkan tabel pembagian penomoran zona  berada di zona 49.1.  Konverginsi grid dan faktor skala diperoleh dari penghitungan dari aplikasi polygon.
Pembuatan sketsa detail lokasi titik menggunakan program Corel Draw 13.

5.      Pengukuran titik ikat dengan GPS
Pada PKL kali ini metode penentuan posisi dilakukan dengan metode differensial (relative), karena posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainya yang diketahui koordinatnya (station referensi). Dalam proses pengamatan biasanya terdapat kesalahan dan bias yang dapat  serta tidak dapat dieliminasi atau direduksi dengan proses pengurangan. Pengeliminasian dan pereduksian ini akan meningkatkan akurasi dan presisi data dan selanjutnya akan meningkatkan tingkat akurasi dan presisi posisi yang diperoleh. Efek dari pengurangan data, lihat tabel dibawah ini.
Tabel 3. Tabel Data Pengamatan Receiver GPS
Kesalahan dan bias
Dapat dieliminasi
Dapat direduksi
Tidak dapat dieliminasi/reduksi
Jam satelit
V


Jam receiver
V


Orbit

V

Ionosfer

V

Troposfer

V

Multipath


V
Noise


V
Selective Availability
V
V

Perlu ditekankan bahwa penentuan posisi secara diferensial adalah penentuan posisi yang harus digunakan untuk mendapatkan ketelitian posisi yang relatif tinggi, berkisar pada level mm (dengan data fase). Aplikasi utama dari metode ini antara lain survei pemetaan, survei geodesi, serta navigasi berketelitian tinggi.
Pada Praktek Kerja lapangan  yang dilakukan di Desa Hargo binangun dilakukan pengukuran dan pengamatan TDT Orde 3 yang diikatkan pada TDT Orde 2 yang berada di Daerah Turi. Sebelum melakukan pengamatan tahap awal adalah melakukan Perencanaan yaitu membuat sket TDT yang akan diukur dan menentukan pergerakan alat sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam proses pergerakan alat. Hal – hal yang perlu dipersiapkan diantaranya:
a.       Membuat sket TDT yang akan diukur.
b.      Merencanakan alur pergerakan alat.
c.       Seting waktu pengamatan, agar dalam pengamatan bisa serempak dan data yang dihasilkan menjadi maksimal.
d.      Cek alat (Baterei, Setting alat mulai pembuatan folder sampai merencanakan penomoran titik).
e.       Rencana waktu pengamatan (siang/malam).
Dalam proses pengamatan TDT Orde 3 tersebut banyak kendala yang di hadapi, diantaranya:
a.       Cuaca, Seringnya terjadi hujan di Desa Hargobinangun.
b.      Alat, disini faktor yang paling mempengaruhi adalah keterbatasan daya baterai. Pengamatan yang dilakukan harus se efektif mungkin.
c.       Lokasi pengamatan tertutup oleh vegetasi ataupun gardu listrik.
d.      Sumber Daya Manusia.
Dari hasil pengamatan pada waktu siang dan malam dengan menggunakan GPS Geodetik terlihat adanya perbedaan jumlah satelit yang ditangkap receiver. Pengamatan yang dilakukan pada malam hari satelit yang ditangkap receiver berkisar antara 9 sampai 11 satelit berbeda dengan jumlah satelit yang diamati pada waktu siang hari yang berkisar antara 6 sampai 8 satelit. Hal ini akan mempengaruhi keakuratan data hasil pengamatan. Sudut yang terbentuk dari ikatan TDT Orde 2 ke TDT Orde 3 yang diukur terlalu lancip, hal tersebut juga akan mempengahui ketelitian hasil pengamatan.
6.      Pengukuran Poligon Utama dan Poligon Cabang

Pengukuran poligon utama D-A menggunakan 2 titik ikat GPS. Pengukuran poligon cabang I menggunakan 2 titik ikat dari poligon utama dan pengukuran poligon cabang II menggunakan 4 titik ikat dari poligon utama.
Pengukuran poligon menggunakan tiga statif yaitu untuk Total Station, dan 2 prisma pada backsight dan foresight. Perpindahan alat hanya dilakukan pada instrumen (Total Station dan prisma) tanpa perpindahan statif dan tribach kecuali statif dan tribach backsight berpindah menjadi foresight. Dalam satu titik hanya dilakukan satu kali sentering dan leveling. Jadi kesalahan perbedaan sentering antara Total Station dan prisma dapat tereliminasi.
Gambar 24 . Perpindahan Alat

Adapun jarak yang diperoleh pada poligon utama D-A terdapat kesalahan sistematis karena perbedaan konstanta prisma dari merek yang berbeda. Prisma yang digunakan bermerek Topcon dan Leica sedangkan total station yang digunakan bermerek Topcon. Selisih jarak yang dihasilkan antara prisma merek Topcon dan Leica adalah ± 3 cm.

Setelah menggunakan pertukaran prisma yang bermerek sama dengan total station dapat diperoleh hasil pengukuran jarak yang presisi. Selisih jarak yang dihasilkan relatif sama.

7.      Penghitungan Poligon Utama dan Poligon Cabang
Penghitungan poligon menggunakan 2 metode. Penghitungan poligon utama dan poligon cabang I menggunakan metode poligon tertutup terikat 2 titik (DU / DV) sedangkan poligon cabang II menggunakan  metode poligon terbuka terikat sempurna.
Titik ikat yang digunakan pada poligon cabang adalah titik-titik pada poligon utama. Sebelum koordinat poligon utama selesai, penghitungan poligon cabang menggunakan metode poligon tertutup koordinat lokal. Hal itu dilakukan untuk mengetahui besarnya kesalahan penutup sudut dan ketelitian linier. Dari hitungan tersebut diperoleh salah penutup sudut poligon cabang I: 0° 0’ 39,5”  salah penutup sudut poligon cabang II : 0° 0’ 29,48”, ketelitian linier poligon cabang I yaitu 1 : 8874,46 dan ketelitian linier poligon cabang II 1 : 6274.  Hal itu menandakan tidak terjadi kesalahan blunder maupun sistematik.
Setelah diketahui koordinat poligon utama, poligon cabang dihitung ulang. Hasil penghitungan diperoleh penurunan ketelitian linier. Hal itu menandakan adanya perambatan kesalahan pada poligon utama yang diikuti poligon cabang.

8.      Pengukuran Detil Situasi
Pengukuran detil situasi menggunakan metode polar. Data yang diambil adalah sudut horizontal, sudut vertikal, jarak horizontal dan jarak vertikal serta tinggi alat, prisma dan rover. Sudut horizontal dan jarak horizontal untuk menentukan koordinat X dan Y. Adapun ketinggian titik diperoleh dari jarak vertikal, tinggi alat dan tinggi prisma. Sedangkan sudut vertikal sebagai koreksi untuk jarak vertikal.
Pengukuran detil situasi dimaksudkan untuk menggambarkan jalan, sungai, pari, bangun dan obyek lain sebagai kelengkapan peta dasar teknik.

9.      Penghitungan Detil Situasi
Penghitungan detil situasi pada prinsipnya mirip dengan penghitungan poligon. Hanya saja tidak dapat dilakukan koreksi salah penutup sudut dan jarak.  Penghitungan dilakukan dengan menggunakan microsoft excel.

10.  Pengukuran Waterpass Poligon Utama dan Poligon Cabang
Pengukuran waterpass menggunakan metode leafrog. Metode lini ideal digunakan untuk pengukuran sipat datar karena alat yang digunakan tidak dilengkapi dengan centering dan titik sumbu garis bidik seperti titik sumbu II pada teodolit sehingga tidak dapat diukur tinggi alat secara tepat.
Jalur waterpass yang digunakan adalah waterpassing memanjang. Waterpassing memanjang menggunakan 2 titik ikat dari poligon utama. Jumlah slag antara dua titik poligon bisa lebih dari satu namun jumlah slag keseluruhan dibuat genap untuk mengeleminir kesalahan sistematis yaitu keausan rambu ukur. Metode ini berlaku apabila perpindahan rambu dibuat menyilang yakni rambu belakang menjadi rambu depan dan seterusnya –bukan rambu belakang terus menjadi rambu belakang. Kendalanya pengukuran tidak dilakukan dalam satu sesi ukuran, adanya istirahat makan siang ataupun lebih dari satu hari. Maka rambu ukur yang digunakan diberi tanda misalnya A dan B. Apabila rambu yang digunakan masih baru dan terjamin tidak aus maka metode ini tidak harus dilakukan.
Dalam pengukuran waterpass selain dicatat Bt juga dicatat Ba dan Bb sebagai koreksi. Dilapang lapang langsung dihitung selisih antara Bt dan rata-rata Ba dan Bb untuk menghindari kesalahan blunder. Sering terjadi perbedaan Bt ukuran dan hitungan karena rambu ukur yang condong ke muka atau belakang. Kecondongan rambu mengakibatkan selisih antara Ba dan Bt serta Bt dab BB tidak sama. Hal itu dapat diatasi dengan menggunakan rambu yang memiliki nivo. Namun perbedaan Bt ukuran dan Bt hitungan bisa juga disebabkan karena ketidaktepatan membaca rambu pada ukuran milimeter (digit ke-4).
Jarak slag dalam pengukuran dibatasi maksimal 50 meter dengan pertimbangan bahwa jarak tersebut masih memungkinkan memperkirakan bacaan hingga satuan milimeter. Adapun ukuran slag lebih dari itu sulit membagi kotak (1 cm) pada rambu ukur menjadi 10 bagian (1 mm). Namun karena terpaksa terdapat 1 ukuran slag pada poligon cabang II lebih dari 50 meter (67.0 m). Slag tersebut berada diantara titik poligon T4-9 dan T4-10. T4-9 berada diatas ketinggian dan T10 berada diatas ketinggian dekat parit yang cukup terjal. Apabila slag dibuat kurang dari 50 m maka  rambu di T4-10 tidak terbaca. Sebenarnya dapat disiasati dengan membuat slag tambahan memutar melewati daerah yang relatif landai namun akan memakan waktu cukup lama karena diperkirakan jalur pengukuran menjadi jauh lebih panjang.

11.  Penghitungan Waterpass Poligon Utama dan Poligon Cabang
Penghitungan waterpass didahului dengan menghitung selisih antara Bt hitung dan rata- rata Ba dan Bb untuk menghindari blunder. Setelah tidak ada blunder maka dilakukan perhitungan beda tinggi pergi dan pulang. Sementara diketahui beda tinggi  selisih pergi dan pulang dan digunakan sebagai acuan masuk-tidaknya kesalahan terhadap toleransi.
Setelah ketinggian titik ikat diketahui diperoleh kesalahan penutup tinggi yang lebih besar dibanding selisih beda tinggi pergi dan pulang. (lihat lampiran penghitungan Waterpass Poligon Utama). Namun, tim IV tidak menggunakan metode waterpassing kring sebagai pembanding.




12.  Pengukuran Detail
Pengukuran detail menggunakan alat total station dan metode zislag. Penggunaan total station mempermudah pengukuran kontur untuk daerah bertebing dengan beda tinggi mencapai 15 meter. Metode zislag memungkinkan menjangkau daerah yang tidak terjangkau oleh poligon utama seperti sungai.

13.  Penghitungan Titik Ketinggian
Penghitungan titik ketinggian menggunakan jarak vertikal, tinggi alat dan tinggi rover. Tinggi rover dibuat sama untuk memudahkan penghitungan dan mengeliminir kesalahan mengukur tinggi rover dengan pita ukur. Namun pada titik PB2 tinggi alat lupa diukur. Untungnya prisma backsight belum dibongkar sehingga masih dapat diukur tingginya untuk mendapatkan ketinggian titik detil dengan rumus lain (lihat dasar teori).

G.    Sarana pendukung

Sarana pendukung antara lain:
1.      Bus STPN untuk memobilisasi mahasiswa dan peralatan PKL;
2.      Sepeda motor pribadi untuk memobilisasi di lapangan;
3.      Tenaga penggali yang disediakan dari Pihak Lembaga STPN;

H.    Koordinasi dan kerjasama antar tim
Koordinasi antar tim amatlah penting. Dari pembagian wilayah yang ditentukan oleh instruktur hingga pelaporan PKL. Setelah didapat pembagian wilayah kerja di atas peta desa, maka perlu diketahui batas wilayah kerja di lapangan. Kemudian volume pekerjaan seluruh tim berupa pemasangan 80 tugu yang dibagi 16 tim dengan jalur poligon utama dan poligon cabang juga mengharuskan koordinasi antar tim. Dalam poligon utama terdapat beberapa titik yang digunakan beberapa tim dan ada beberapa tim yang menggunakan titik poligon cabang tim lain.

Beberapa permasalahan yang dialami diantaranya :
1.      Di jalur poligon utama D-A terdapat titik B1 di simpang jalan untuk ikatan poligon cabang tim XVI namun jarak ke titik TDT D terlalu dekat, TDT D dan TDT berikutnya saling terlihat maka berdasarkan rapat koordinasi disepakati titik tersebut hanya berupa titik bantu dari patok kayu. Namun kemudian setelah dilakukan pengukuran oleh Tim IV dan digunakan sebagai backsite tim I, tim XVI bermaksud mengganti dengan tugu TDT. Diputuskan pembatalan pemasangan tugu tersebut.
2.      Pada poligon cabang I tim IV terdapat  2 buah titik yang akan digunakan sebaga titik ikat tim X yaitu titik T4-4 dan T4-5 (pada rancangan awal) namun tidak terlihat dari titik poligon cabang tim X yang berada di seberang sungai. Akhirnya disepakati titik  T4-5 digeser dan ditambahkan satu titik lagi diantara T4-4 dan T4-5. Untungnya tim IV belum melakukan pengukuran poligon cabang tersebut.
3.      Tim II menggeser  2 patok tim V yang akan digunakan titik ikat tim II tanpa konfirmasi padahal telah dilakukan pengukuran. Maka tim V harus melakukan pengukuran ulang di 4 titik.
4.      Koordinasi pemakaian alat juga dilakukan. Pemakaian prisma yang berbeda pada Total Station dilakukan upaya penyamaan dengan saling tukar antar tim. Peminjaman total station, waterpass, bak ukur, statif, baterai, charger, cangkul, linggis dan lainnya antar tim sangat membantu kelancaran pekerjaan.
5.      Berikutnya kerjasama antar tim dalam penghitungan poligon utama. Kemudian saling tukar saran pendapat anatr tim dalam mengatasi berbagai permasalahan baik pekerjaan lapang maupun pekerjaan studio seperti penghitungan di basecamp. Sebagai contoh tim XII dan tim XIV yang kesulitan melakukan pengukuran waterpas di daerah terjal. Sepemahaman mereka bahwa slah waterpas hanya dapat diberikan satu diantara dua titik poligon yang akan diukur ketinggiannya. Padahal keterbatasan tinggi waterpass dan karena sifatnya datar maka tidak dimungkinkan hal tersebut dilakukan. Pada kasus tersebut, apabila waterpass dapat dilakukan leveling maka salah satu rambu ukur tidak terbaca benang bawahnya. Sebaliknya apabila kedua rambu terbaca maka waterpass tidak leveling lagi. Begitu seterusnya berulang- ulang. Akhirnya tim IV memberi masukan dengan membuat slah tambahan sehingga diperoleh lebih dari satu slah diantara dua titik poligon.
6.      Lebih lanjut lagi kerjasama antar tim masih diperlukan dalam pembuatan laporan. Pelaporan terdiri dari laporan kelompok dan laporan gabungan. Untuk menyeragamkan dan membakukan lampiran laporan seperti buku tugu dan peta dasar teknik maka dilakukan kerjasama antar tim.

I.       Bimbingan dari instruktur
Pembagian wilayah kerja dilakukan oleh instruktur tentunya dengan berbagai pertimbangan. Dapat dilihat bahwa tim perempuan berada di daerah relatif lebih mudah dari segi kesulitan medan dan keamanan kerja. Hal itu memang merupakan tugas instruktur untuk mengkoordinasikan regu dalam melaksanakan tugas agar sesuai dengan sistematika dan waktu yang ditetapkan.
Pada perkembangan lebih lanjut pertemuan antar perwakilan (ketua) tim kurang difasilitasi oleh instruktur. Adapun bimbingan dalam memberikan alternatif penyelesaian masalah dan arahan dalam pelaksanaan prosedur dilakukan dalam bentuk parsial. Maksudnya keaktifan peserta dibutuhkan. Jadi permasalahan yang dialami oleh satu tim belum tentu diketahui tim lainnya sehingga apabila terjadi kasus yang sama masih memerlukan bimbingan lagi. Seperti halnya kasus pengukuran slah waterpass tim XIII dan tim XIV.
Terlepas dari kekurangan itu, instruktur dan pendamping sangat membantu peserta PKL. Beberapa instruktur dan pendamping yang ditemui di basecamp maupun lapangan selain memberikan semangat juga membantu mengatasi keraguan dan beda pendapat antar peserta PKL.

J.      Hasil
1.      Daftar Isian 103 (ukuran poligon/detil) dan data ukuran waterpass
Setelah melakukan PKL TDT, anggota tim IV dapat melakukan pengisian DI 103 dengan baik dan benar. Hal itu diperoleh dengan pembelajaran di PKL yang hasil pengisian DI.103-nya masih kurang rapi penulisannya, kurang tepat perberian notasi titik berdiri alat dan target, salah tempat penulisan, kurang jelas beda antar huruf  (misal angka 0 dan 9, angka 1 dan 7, angka 3 dan 5) dan sketsa yang tidak rapi dan tidak jelas. Dalam pekerjaan berikutnya tiap peserta dapat mengisi DI.103 lebih baik sehingga dapat dibaca dengan jelas dan tidak membingungkan orang lain. Apalagi dalam pelaksanaan di kantor tidak jarang penghitungan dan penggambaran dilakukan oleh orang yang berbeda dengan pengukurnya.

2.      Daftar Isian 104 (hitungan koordinat poligon) dan hitungan waterpass
Hitungan poligon dan waterpass dapat dilakukan manual ataupun digital menggunakan aplikasi seperti netsurvey atau program sederhana seperti Microsoft office excel. Hitungan computer jauh lebih mudah dan cepat apabila memahami konsep formula atau program yang digunakan. Sebaliknya bila kurang menguasai justru akan memperlambat penghitungan bahkan terjadi kesalahan hitung. Seringkali kesalahan hitung (dalam excel) disebabkan kesalahan formula atau kesalahan meletakkan alamat cel. Tidak jarang kesalahan hitung membuat panik dan beranggapan terjadi blunder data atau kesalahan ukuran.
Peristiwa di atas dialami tim IV dalam penghitungan poligon utama. Yang akhirnya dengan bantuan instruktur dapat diatasi yaitu terjadi kesalahan memasukkan koordinat titik ikat GPS, titik D sehingga jarak titik D dan titik A menjadi 4 meter padahal sebenarnya 1.213, 498 meter.

Tabel 4.  Rekapitulasi penghitungan Poligon Kelompok 4.

No.
Seksi
Toleransi kesalahan sudut (“)
Kesalahan sudut
Koreksi tiap sudut (“)
Kesalahan linier
Ketelitian linier
X
Y
1
Poligon Utama D-A

46”
0,00048
-0,13
0,141
1 : 6322.4
2
Poligon Cabang I
37,42
39,5
- 2,821
-0,044
-0,037
1:8874
3
Poligon Cabang II
24,49
29,48
4,913
-0,015
-0,035
1 : 6274

Tabel 5.  Rekapitulasi penghitungan Waterpass Kelompok 4

No.
Seksi
Toleransi
Selisih beda tinggi pulang-pergi
Selisih beda tinggi dengan titik ikat
BT lapang (mm)
BT hitung
1
Poligon Utama D-A




2
Poligon Cabang I
10,056
0
5,5
27
3
Poligon Cabang II
5,869
- 2
-2,5
9

3.      Daftar Isian 106 (daftar koordinat)

Tabel 6.  Distribusi Titik Dasar Teknik


4.      Daftar Isian 102 (buku tugu)

Jumlah TDT dalam buku tugu tim IV adalah 18 nomor TDT.

5.      Peta Dasar Teknik
Peta dasar teknik hasil PKL ini merupakan gabungan dari 16 tim. Di wilayah kerja tim IV terdapat situasi jalan dan sungai, obyek mushola dan pemakaman, area pemukiman dan pertanian serta garis kontur.


6.      Titik Dasar Teknik
Selain hasil yang dapat dibawa pulang dan atau diserahkan kepada kantor pertanahan, terdapat hasil nyata dari PKL ini berupa tugu- tugu TDT di lapang. Tugu- tugu itu jauh lebih berarti dari papan nama jalan atau monumen yang biasa ditinggalkan peserta PKL –KKN- lainnya.

K.    Perencanaan dan Evaluasi
Perencanaan merupakan bagian penting yang ikut menentukan keberhasilan PKL ini. Perencanaan yang matang akan mempermudah pekerjaan sekaligus mempersingkat waktu untuk mendapatkan hasil yang optimal. Perencanaan didasarkan pada jenis dan volume pekerjaan, alat dan sarana, tempat dan waktu, jumlah dan kemampuan personil untuk mendapatkan metode yang cocok dan sistem kerja yang sinergi.
Evaluasi dilakukan berkala, tidak hanya di akhir kegiatan. Setiap hari dan setiap seksi pekerjaan dilakukan evaluasi untuk perbaikan. Evaluasi dalam penggunaan alat dilakukan seperti halnya pemakaian prisma yang berbeda merk dan penggantian waterpass. Metode pengukuran juga dievaluasi misalnya pengukuran poligon cabang I dan poligon cabang II. Pada poligon cabang I hanya menggunakan 2 titik ikat sedangkan poligon cabang II menggunakan 4 titik ikat. Metode penghitungan dapat dibandingkan antara poligon tertutup terikat sempurna dan poligon terbuka terikat sempurna. Pembagian tugas juga dievaluasi terbukti bahwa semua anggota tim pernah menggunakan alat ukur, mencatat data ukuran, memegang bak ukur dan prisma sampai pada penghitungan data dan pelaporan.

L.     Pelaporan
Responsi pelaksanaan paling lambat 2 minggu setelah penarikan dari lokasi. Responsi hanya bisa dilaksanakan apabila mahasiswa sudah menyelesaikan laporan PKL (laporan kelompok/ perorangan) dan laporan PKL sudah dijilid.
Target laporan selesai hari ke-12 yaitu tanggal 14 Desember 2009.  Adanya pembagian penanggung jawab produk - produk PKL namun pelaksanaan dikerjakan bersama saling bantu. Daftar koordinat sudah terselesaikan di lokasi PKL. Penghitungan koordinat (X,Y) poligon cabang dan detil serta pengumpulan data lapang menjadi tanggung jawab: Bagus. Pengetikan data lapangan dan rekap koordinat detil: Phamyo. Pembuatan Buku Tugu: Tulus. Peta TDT beserta kontur: Dhanang. Laporan dan ploting koordinat: Heri.


















BAB V. PENUTUP

A.     Kesimpulan
Keterkaitan antara teori dan praktik amatlah kuat. Tidak ada yang lebih praktikal daripada dasar teori yang kuat. Tingkat keterampilan seseorang amat dipengaruhi oleh pengetahuannya. Memang mengasah keterampilan dengan pengulangan namun tidak akan banyak berarti tanpa pembelajaran. Permasalahan - permasalahan di lapang menuntut dipecahkan dengan kemampuan kognitif seseorang. Sedangkan aspek kognitif akan diuji dan dibuktikan dengan praktik. Dengan praktik banyak hal yang dapat diketahui. Terbukti PKL ini membuka pengetahuan peserta akan apa yang tidak diketahui, apa yang harus diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya.
Salah satu hal yang menjadi pembuktian baru bagi peserta adalah aspek afektif. Bagaimana sikap, cara berpikir dan sudut pandang seseorang dalam menilai pekerjaan akan menentukan kualitas kinerja dan hasilnya. Betapa pentingnya kerjasama, koordinasi, diskusi dan betapa perlunya saling memahami, menghargai dan mengisi kekurangan teman kerja. Belajar menjadi seorang pemimpin dengan menjadi pengikut yang baik. Memutuskan untuk mengikuti apa yang menjadi keputusan bersama meskipun tidak sesuai dengan harapannya.
Seorang pemimpin juga  harus mampu merencanakan suatu proyek agar sumberdaya yang terbatas mempunyai hasil yang optimal. Lulusan Diploma IV kelak tidak hanya menjadi pelaksana. Jadi selain mampu merencanakan juga mampu mengevaluasi, mengukur keberhasilan suatu proyek, dalam hal ini PKL Titik Dasar Teknik.
PKL dasar teknik merupakan aplikasi dari beberapa mata kuliah yang dipelajari di kampus antara lain: Dasar – dasar Pengukuran Tanah, Kerangka Dasar Pemetaan, Katografi, Pengolahan Data Berkomputer, Matematika dan Fisika.
Pengukuran GPS metode penentuan posisi defferensial hasilnya teliti namun pelaksanaannya perlu koordinasi dan persipan yang matang. Hasil yang diperoleh dari GPS adalah koordinat kartesian tiga dimensi(x,y,z) dalam system koordinat WGS 84 (World Geodetic system 1984), yang merupakan realisasi dari system CTS. Koordinat kartesian (x, y, z) tersebut selanjutnya ditransformasikan menjadi koordinat geodetik (j, l, h).
Pengukuran TDT orde 4 menggunakan minimal 2 titik ikat dengan metode poligon tertutup. Sedangkan poligon terbuka memerlukan 4 titik ikat. Pengukuran sudut dan jarak menggunakan total station dengan 3 statif  lebih mudah dan teliti. Total station dapat digunakan mengukur beda tinggi untuk menentukan titik ketinggian.
Waterpass memiliki ketelitian tinggi bila digunakan mengukur slag kurang dari 50 m dengan rambu yang dilengkapi nivo dan metode leafrog. Rambu yang aus dapat dieliminir kesalahannya dengan menggunakan rambu secara silang dalam jumlah slag genap. Antar dua titik yang akan diukur bisa dibuat lebih dari satu slag. Semakin panjang jarak slag maka kesalahan semakin besar (toleransi makin besar) maka diupayakan penempatan waterpass segaris dua titik yang akan diukur untuk memperpendek jarak.
Data ukuran maupun hitungan yang paling penting dalam buku tugu adalah koordinat (X, Y dan geodetik) termasuk tinggi ellipsoid beserta identitas tugu. Penghitungan koordinat dan ploting koordinat secara digital jauh lebih mudah apabila menguasai programnya. Membuat peta kontur lebih mudah menggunakan program Surfer 8, tapi apabila data tidak lengkap hasilnya tidak baik.

B.     Saran
Pembagian tim sebaiknya dipercayakan kepada instruktur atau mahasiswa agar merata kemampuan akademis, keterampilan dan pengalaman kerja (non Diploma I).
Seluruh alat seharusnya diperiksa peserta dan segera dipisahkan sehingga memudahkan pengambilan alat menjelang pemberangkatan dan menghindari alat yang rusak terbawa ataupun tertukar (baterai dan prisma).
PKL pemeliharaan TDT I lebih awal dan PKL Pengukuran Bidang diberi jeda dengan PKL TDT. Tim yang mengukur GPS dan poligon utama diberi waktu lebih atau datang lebih awal. Lamanya waktu pelaksanaan dihitung berdasarkan hari kerja dan perhatikan kepentingan mahasiswa (hari raya).
Penyuluhan tentang pelaksanaan PKL sebaiknya diadakan lebih awal. 
Dalam PKL selanjutnya Diharapkan para  instruktur lebih aktif turun ke lapang mendampingi peserta PKL sehingga bila terjadi permasalahan dilapang dapat diselesaikan lebih cepat. Perlunya pendampingan instruktur pada waktu koordinasi antar tim melalui perwakilan (ketua) agar permasalahan satu regu dapat diketahui regu lain dan dapat diselesaikan dengan cepat  tepat serta dapat mengatasi perbedaan pendapat.
Perlu mempresentasikan hasil (laporan) PKL TDT untuk mempertajam pengetahuan dan menyatukan persepsi.
Berikan apresiasi lebih terhadap prestasi kerja tim untuk memacu semangat belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar